STISNU

Puasa yang Membakar Syahwat Bumi

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Ramadhan, kini, engkau kembali datang, setelah sebelas bulan lamanya pergi memenuhi takdir Illahi. Dan dari pergantian siang dan malam, serta rotasi matahari pada porosnya, Tuhan pertemukan kita kembali dengan bulan suci ini. Mari sambut kehadirannya dengan lapang dada dan hati terbuka, seraya berkata sepenuh jiwa “Marhaban Ya Ramadhan”.

Ramadhan adalah bulan pembakaran. Berasal dari ramad (Arab), yang berarti membakar, atau panas yang hebat dan menyengat. Di bulan mulia ini, kita bakar semua yang tidak dibutuhkan jiwa, agar jalan spiritual menuju Tuhan Sang Pencipta Semesta lapang terbuka. Kita bakar segala nafsu materi yang bercokol di dalam diri, agar tangga ke langit ke-Tuhan-an tak terhalang belenggu syahwat bumi.

Inilah bulan pemurnian, di mana jiwa manusia dimurnikan dan ruhnya disucikan kembali. Mistikus Islam Jalaluddin Rumi menyebut puasa dalam Divan-i Syams sebagai Atash atau api, yang menghancurkan kedengkian, ketamakan, kesombongan, dan ke-aku-an yang bersarang di dalam hati. Takdir api adalah membakar. Panasnya bisa memurnikan jiwa dari segala penyakit hati dan belenggu nafsu hewani. Puasa membakar segala kemelekatan materi yang melekat di dalam hati seseorang, dan menghancurkannya untuk tujuan pemurnian.

Ramadhan adalah bulan pengosongan (takhalli). Bejana kehidupan yang selama ini diisi syahwat materi dan gemar berburu nafsu bumi, kini, saatnya dikendalikan agar tidak liar dan melampaui batas. Perut yang terus menerus dijejali makanan selama berbulan-bulan, selain menambah lemak, kolestrol dan menumpuk macam penyakit dalam tubuh, juga bisa memudarkan ikatan ruhani kita dengan Tuhan. Bahkan pikiran yang selalu diarahkan pada urusan perut, tidak akan menghasilkan apa-apa, selain pembatasan kuasa Tuhan pada urusan materi semata.

Maulana Rumi mengibaratkan manusia seperti sebatang seruling, yang rintihan merdu suaranya bergantung pada seberapa banyak isi lambung di dalamnya. Semakin kita mampu mengosongkan isi lambung seruling, semakin terdengar nyaring merdu suara yang dikeluarkannya. Begitulah halnya manusia. Rintihan jiwa para perapal doa-doa yang perut dan pikiranya semata dijejali makanan dan bayangan materi, tidak akan mendapatkan kemungkinan lain, selain suaranya (munajat) tidak lagi terdengar.

Insan itu tak ubahnya sebatang seruling.

Ketika penuh isi lambung seruling,

tak ada desah: rendah atau tinggi yang dihembuskannya.

[Maulana Rumi, Divan-i Syams]

Momen pengosongan adalah momen jeda dan peralihan. Aktivitas berpuasa bukan semata menunda makan dan minum di siang hari hingga terbenam matahari, atau mengekang syahwat di waktu-waktu terlarang semata. Melainkan lebih mengalihkan rutinitas fisik (tubuh) yang mengarah kepada pendangkalan dan pencitraan ke aktivitas spiritual-transendetal. Saat mulut terkunci, kata Rumi, terbukalah tirai Illahi. Saat seluruh indera fisik dipuasakan secara ruhani, terbukalah indera-indera batin yang lebih hakiki dan asali. Puasa adalah Band-e dahan (penutup mulut), kata Rumi. Di mana berkata dusta dan adu domba, fitnah dan buruk sangka tidak lagi mendapat tempat.

Di momen pengosongan (takhalli) ini, segala macam penyakit hati harus dihancurkan, dibuang jauh-jauh, untuk memberi jalan yang lapang bagi hati (qalb) saat menerima proses pengisian (tahalli). Tahalli adalah mengisi hati dengan sifat-sifat Tuhan agar setiap nafas dan laku hidup seorang hamba dituntun cahaya-Nya. Puasa sendiri tidak lain melatih ruhani manusia dengan memperbanyak menyerap sifat-sifat Tuhan. Ibnu ‘Arabi menyebut puasa sebagai jamuan ruhani, hidangan langit, yang melatih jiwa manusia terbebas dari gravitasi syahwat bumi agar bisa mikraj ke langit tertinggi.

Ramadhan adalah bulan pengungkapan diri (tajalli). Di mana Tuhan mengungkapkan diri-Nya, hadir dalam kesadaran hamba-hamba-Nya. Momen paling mendebarkan (mysterium tremendum) sekaligus memesona hati (mysterium fascinosum) ini, bisa terjadi bila tahapan pengosongan (takhalli) dan pengisian (tahalli) mampu dilampaui dengan sempurna. Pada fase ini, orang yang berpuasa mengalami kebahagiaan yang tak terperikan. Di mana segala ibarat dan bahasa tak mampu mendeskripsikan pengalaman saat bertemu Tuhan.

Dalam ketinggian ruhani seperti itu, keragaman tidak lagi dilihat sebagai kesemrautan dan kejanggalan, tapi kesatuan yang elok dalam semesta kehidupan. Apa yang disebut keragaman pohon tak lagi berarti dalam kesatuan hutan. Apa yang disebut perbedaan bahasa, suku, dan budaya, semuanya lebur mencair dalam kesatuan bangsa. Inilah kesadaran kosmik. Yang terlihat bukan lagi kontradiksi-kontradiksi dari ragam perbedaan yang ada. Melainkan paradoksalitas dari realitas yang hakiki ada.

Dalam kesadaran kosmik seperti itu, yang ada adalah kemanunggalan antara seorang hamba (yang berpuasa) dengan Tuhan-nya. Sabda Nabi Muhammad memastikan keyakinan itu, “Dua kebahagiaan bagi yang berpuasa, saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya”. Pertemuan dimaknai sebagai kemanunggalan dalam tajalli Tuhan dalam ciptaan-Nya, yang terjadi antara pecinta dan kekasihnya. Benar kata para sufi, puasa adalah upaya “menjadi Tuhan”. Sebab puasa melatih kita berakhlak seperti akhlak Tuhan.

Semoga puasa tahun ini kita mampu membakar segala kemelekatan materi dan syahwat bumi yang bersarang di dalam hati. Semua itu bisa diperoleh hanya bila kita mampu melewati tiga fase yang telah diuraikan di atas: fase pengosongan (takhalli), fase pengisian (tahalli), dan fase pengungkapan diri (tajall). Wallahu’alam bisshawab!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.