STISNU

FGD Cosmic Intelligence: Menyelami Makna Terdalam Kesejatian Hidup

Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang menyelenggarakan Focus Group Discussion  (FGD), Rabu (7/2/2014). Kegiatan ini dilakukan dalam rangka penguatan kualitas dan pengayaan khazanan keilmuan para dosen yang secara rutin dilaksanakan setiap bulan sekali oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM).

FGD yang dilaksanakan di Meeting Room STISNU ini membahas Cosmic Intelligence sebagai metode pengembangan diri berdasarkan kecerdasan semesta. Hadir dalam kesempatan itu Ketua STISNU Tangerang, Dr. Muhammad Qustulani, Wakil Ketua I Bagian Akademik Ecep Fariruddin Ishak, MA., Wakil Ketua III Bagian Mahasiswa KH. Muhammad Mahrusillah, MA., Ketua LPM Dul Jalil, MA., beserta sejumla dosen. Hadir pula mitra kerja STISNU dari Balai Pemasyarakat (BAPAS) Kelas I Kota Tangerang, Bapak Andreas Andi Frisdian (Kasubsi Bimbingan Kerja Bapas) beserta jajaran.

Adapun narasumber tunggal dalam diskusi terbatas itu adalah Kiai Abdul Hakim, MA. Beliau pernah mendalami Filsafat Barat di Sekolah Tinggi Driyakara Jakarta, dan menyelesaikan mastersnya di Negeri Kanguru Australia. Pernah menjadi Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan di Universitas Paramdina bersama Dr. Yudi Latif. Aktifitasnya saat ini banyak mengisi acara seminar, pelatihan, dan kajian. Beliau juga sering diudang sebagai konsultan politik.

Dalam pemaparannya, mula-mula Kiai Hakim mengurai problem laten kemanusiaan yang dihadapi manusia modern dewasa ini. Di mana munusia modern secara umum mengalami keterasingan (alienasi), kecemasan, depresi, disintegrasi, kehilangan jati diri, dan raibnya makna hidup. Dalam situasi semacam itu, katanya, manusia harus segera menggali potensi diri (istilah tasawuf: pengenalan diri) yang kadung terkubur puing-puing modernitas yang serba sekuler dan materialistik.

Metode Cosmic Intelligence yang ditemukan dan dirumuskan langsung oleh almarhum KH. Abdullah Umar Fayumi ini, kata Kiai Hakim, berupaya untuk mengatasi problem-problem kehidupan manusia modern yang terlepas dari kesejatian hidup. Nah! Untuk menemukan kembali kesejatian hidup dan makna hidup yang raib ditelan gaya hidup konsumtif, hedonis, dan serba kebendaan, dapat dirumuskan secara teoritik, kata Kiai Hakim, dalam Teosofi Wujud atau Tri Tunggal Kesemestaan.

Menurut Kiai Hakim, Teosofi Wujud atau Tri Tunggal Kesemestaan, mensyaratkan hubungan tiga arah yang saling terhubung satu sama lain, yaitu Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta. Ketiganya secara trilogis harus terkait dan berelasi, tidak boleh diabaikan. Dan trilogi keterhubungan ini disebut dalam istilah Kiai Hakim sendiri sebagai Metafisika Relasional, sebuah keadaan eksistensial manusia yang harus dihayati dan dijalani.

Misi manusia (sebagai khalifah) di dunia, selain penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Sejati, juga penyapaan pada sesama (manusia), serta penyatuan bersama alam semesta. Kesadaran semacam ini harus terinternalisasi dalam diri setiap individu, dalam sikap, perkataan, dan tindakannya. Sebagai hambat Tuhan (ibadurrahman), manusia harus punya kesadaran bahwa ada Dzat Yang Maha Besar yang meliputi  segalanya. Dia ada dan tak dapat dikatakan. Setiap penyebutan dan penamaan pada diri Tuhan, tidak akan mampu menggambarkan ke-Maha Agungan dan ke-Maha Besaratan Tuhan. Dia bukan ini dan juga bukan itu. Dia tidak bisa ditunjuk dalam sebuah ruang, juga tidak bisa dibayangkan (tan kena kinaya ngapa). Sebab Dia tidak menyerupai ciptaan-Nya sendiri (laysa kamitslihi syaiun)—Kia Hakim menggambarkan keadaan seperti itu dalam teori teologi negatif.

Sebagai manusia yang berelasi dengan sesamanya, manusia harus memancarkan sifat-sifat ketuhanan yang welas asih (rahman-rahim), penuh cinta dan kasih sayang. Sebab, bukti pengakuan (syahadah) kepada Sang Ada, juga bisa dimulai dari kesadaran berempati pada yang lain. Orang bijak mengatakan, puncak spiritualitas seseorang adalah humanisme tanpa pamrih. Inilah yang dijelaskan oleh Kiai Hakim dengan apa yang disebut sebagai Rangkaian Munajat Kosmis. Di mana manusia yang berelasi dengan manisia lain harus saling sapa, berterima kasih, minta maaf, bersyukur, istighfar, ikrar bersama, dan berdoa.

Sebagai manusia yang hidup di alam, di mana alam hadir lebih dulu dari manusia di alam jagat ini, manusia harus punya kepedulian dan kesadaran akan keberadaan alam. Manusia harus merawat dan bersahabat dengan alam, agar tidak terjadi bencana dan malapetaka. Munculnya banjir, gempa bumi, longsor, letusan gunung, dan bencana alam lainnya, disinyalir akibat ulah manusia yang terlalu mengeksploitasi alam, menjarah alam sesuka-sukanya. Karena itu, kata Kiai Hakim, manusia harus menjadi sahabat alam. Apalagi isu lingkungan dewasa ini menjadi perhatian manusia global dan menjadi kosa kata dunia.

Singkat kata, pemahaman terhadap konsep Teosofi Wujud atau Tri Tunggal Kesemestaan, kata Kiai Hakim, bisa meredakan penyakit manusia modern yang sudah kehilangan keterhubungan, disintegrasi, bahkan teralianasi (terasing) dari dirinya sendiri, dari fungsi kehadirannya di dunia sebagai hamba Tuhan, mahluk sesama, dan mitra semesta. Semoga Metode Cosmic Intelligence ini bisa membantu kita menemukan makna hidup dari kesejatian hidup yang diidealkan oleh Tuhan, Khalifatullah di dunia.

Rencananya, metode Cosmic Intelliegence atau kecerdasan semesta ini akan dimasukan ke dalam kurikulum STISNU Tangerang. Bahkan, kata Ketua STISNU, prinsip-prinsip dasar Cosmic Intelliegence akan pada setiap matakuliah yang ada.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.