MENCINTAI BAHASA NUSANTARA
oleh : Hamdan Suhaemi
Artikel, STINU, 17 Desember 2023
Belakangan ada sekelompok anak bangsa yang membaur bersama masyarakat umumnya dengan kesehariannya menggunakan dialek Bahasa Arab, entah karena terbiasa hidup di Timur Tengah dengan alasan kuliah atau bekerja begitu pulang ke tanah air bahasa tersebut terbawa, sama halnya yang pulang dari belajarnya atau bekerja di Eropa dan Amerika, masih terbawa bahasa kesehariannya. Asumsi sementara itu bawaan dari kebiasaan disana, maka masih kita anggap wajar.
Yang jadi tanda tanya dialek Arab dan Inggris itu diucapkan oleh yang tidak pernah ke luar negeri, namun selalu menggunakan diksi seperti ente, antum, ane, akhi, ukhti, harim, dan seperti you, brother, boy, me, oh my God. Ini sering kita dengar ketika ada perbincangan diantara mereka, padahal kita ini punya bahasa sendiri, yaitu bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Pertanyaan kemudian kenapa itu bermunculan sehingga jadi fakta fenomenalogis.
Orang dari luar negeri datang di negeri kita justru ingin membaur dengan menggunakan bahasa kesehariannya kita, baik turis, pelajar atau mahasiswa dari berbagai bangsa begitu antusias ingin bisa bahasa dan kesusasteraan Indonesia. Tetapi berbanding terbalik ketika saudara kita yang tidak sekali ada hubungannya dengan negara luar justru gemar berbincang dengan diksi Arab dan Inggris.
Marsudi, dalam Jurnal Sosial Humaniora, Vol.1 telah menulis bahwa Bahasa Indonesia masih dinilai sebagai bahasa yang inferior. Masyarakat kini gemar menyebut kata asing ketimbang padanannya dalam bahasa Indonesia, bahasa asing dianggap memiliki prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Indonesia. Hal ini tampak pada pemakaian kata atau istilah asing yang berarti tidak memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan tidak mencari kata atau istilah yang berasal dari bahasa Indonesia atau dari bahasa serumpun.
Menurut Urip Zaenal, Bahasa Indonesia tergusur karena adanya bahasa asing hanya bagi masyarakat yang merasa gengsi dan lebih merasa keren kalau berbicara menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Menurut Zainal, para pelajar Indonesia yang sedang mempelajari bahasa asing, sudah sangat memahami kapan menggunakan bahasa asing dan kapan sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam Ethnoloque (2012) disebutkan bahwa terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan berkembang, tetapi tidak dapat diingkari bahwa sebagian besar bahasa itu akan punah.
Menurut data Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat lebih dari 640 bahasa daerah (2001:40) yang di dalamnya terdapat kurang lebih 154 bahasa yang harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang benar-benar telah mati. Bahasa yang terancam punah terdapat di Kalimantan (1 bahasa), Maluku (22 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera (67 bahasa), Sulawesi (36 bahasa), Sumatra (2 bahasa), serta Timor-Flores dan Bima-Sumbawa (11 bahasa). Sementara itu, bahasa yang telah punah berada di Maluku (11 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera, Sulawesi, serta Sumatera (masing-masing 1 bahasa).
Pengaturan penggunaan bahasa daerah menjadi pelengkap pengaturan tentang bahasa Indonesia atau bahasa negara. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional – termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 yang menjadi cikal bakal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, penggunaan bahasa daerah diatur sebagai pelengkap penggunaan bahasa Indonesia yang diwajibkan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia.
Tinggal kitanya yang melihat gejala campuran bahasa yang sering kita dengar ini disikapi dengan tetap kita berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan bila ada bahasa atau diksi dari daerah yang cakupannya masih Nusantara baiknya kita kenalkan, sebab bahasa daerah adalah justru bahasa ibu atau induk. Intinya wajib hukumnya mencinta bahasa kita sendiri, yaitu bahasa Nusantara.
#bahasa
#nusantara