MENULIS SKRIPSI TIDAK SEPERTI TAHU BULAT DI GORENG DADAKAN
Oleh Muhamad Qustulani
Setiap mahasiswa pasti memiliki mimpi yang sama, yaitu lulus dan meraih gelar sajana. Ketika mendaftarkan diri sebagai mahasiswa bayang bayang memakai toga, dan melabelkan titel sudah terlintas di kepala. Tetapi lintasan itu hanyalah nisbi dan fatamorgana saat itu karena nyatanya baru memulai perjalanan belum sampai pada titik puncak.
Fase fase meraih sarjana harus dijalani prosesnya tidak bisa instan di mulai dari semester 1 s.d 8. Setiap fase pasti dengan ujian tersendiri, biasanya pada semester 1 s.d 3 lebih mudah dan bersemangat aktif karena belum ada tugas tugas lain yang menjadi persyaratan lulus. Lawatan pada fase selanjutnya mulai meningkat dengan banyak jenis cobaan dan ujian. Cobaan dari teman pergaulan karena sudah saling mengenal interaktif dengan dunia dalam dan luar kampus. Cobaan dari teman yang mulai merosot semangat dan daya juangnya. Cobaan pergaulan, jika bergaul dengan pemalas maka ikutan malas. Juga sebaliknya. Ujiannya pun bertambah dan berbeda, mulai dari tugas kuliah, tugas lapangan, dan tugas lainya. Belum lagi ditambah biaya administrasi keuangan yang harus dilunasi.
Sekelumit lawatan studi mulai dari semester 1 s.d 8 itu akan mudah dicapai, dilewati tanpa masalah apabila mahasiswa aktif dalam kehadiran, aktif dalam belajar, dan aktif dalam administrasi. Sejumlah mata kuliah yang ditawarkan melalui sistem kredit semester (SKS) diambil dengan baik dan nilai memuaskan. Demikian mahasiswa seperti ini berpeluang lulus tepat waktu.
Lalu, mahasiswa yang seperti apa yang akan telat semester? Yaitu mahasiswa yang tidak memiliki rumusan dan perencanaan studi, seperti tidak mengisi Kartu Rencana Studi (KRS), tidak mengambil matakuliah, jarang masuk, dan tidak taat administrasi. Akhirnya persoalan tersebut menumpuk dan memuncak sehingga pada akhir bermasalah dengan banyak kemungkinan, yaitu kemungkinan telat lulus, kemungkinan mengundurkan diri, dan puncaknya dropt out. Jika demikian maka cita cita dan harapan bergelar sarjana adalah kesia-siaan.
Kampus ketika menangani mahasiswa dengan kondisi seperti itu akan merasa serba salah, pada satu sisi khawatir dengan PD DIKTIS, pada sisi lain mereka adalah tetap anak-anaknya yang harus dipikirkan dan diselamatkan. Kebijakan remedial, mengulang semester, dan lain lain menjadi salah satu solusi, meskipun ini akan melelahkan dan beresiko dalam PD DIKTI.
- Pertama, mahasiswa yang seperti itu dipastikan datanya tidak terupdate di setiap semester. Tidak ada data studi dan nilai di PD DIKTI pada setiap semester.
- Kedua, jika perbaikan data terlalu banyak pada PD DIKTI, maka khawatir dicurigai melakukan duplikasi data, dan bahayanya disuspend. Jika demikian semua dirugikan.
- Ketiga, menumpuk semua tugas penyelesaian studi, membengkak biaya administrasi, tuntutan penyelesaian skripsi dan lain lain. Hal ini jika memiliki dana keuangan, maka akan meringankan beban. Tetapi jika tidak ada? Maka akan menambah beban. Pinalty dan funishmant pun menanti. Permasalahan menjadi kompleks dan tuntutan semakin banyak, maka pada akhirnya keseriusan menjadi hal yang harus diperhatikan.
Skripsi Bukan Tahu Bulat Digoreng Dadakan
Efek dari lambat studi menyebabkan penulisan skripsi akan bermasalah. Pasalnya mahasiswa yang bisa menulis skripsi harus sudah mengambil matakuliah dan melunasi administrasi. Ada banyak catatan tentang menulis skripsi, diantaranya:
- Mahasiswa tidak bisa mengambil matakuliah skripsi karena tidak memenuhi persyaratan administratif akademik, seperti sudah mengambil seluruh matakuliah di semester 7, lulus matakuliah Metodologi Penelitian, dll.
- Tunggakan menumpuk akibat tidak aktif dan tidak taat dalam pembiayaan yang sudah diatur sedemikan rupa oleh kampus. Tagihan membesar, dan menumpuk.
- Andai diberikan kesempatan, maka seperti dikejar-kejar oleh waktu untuk memenuhi persyaratan dalam satu semester. Misal dalam semester 7 atau 8 mengulang matakuliah, mencari pembiayaan studi, tugas menyelesaikan proposal, dan ujian skripsi. Jika tidak? Maka akan lebih lama lagi kuliah dan meraih gelar sarjana.
- Ketika menulis skripsi kebingunan apa yang akan ditulis dan dirumuskan, bingung tentang hal yang akan diteliti. Kondisi ini menjadi jumud, membuat gelisah, dan khawatir karena ada banyak tuntutan persoalan yang harus diselesaikan. Pada akhirnya ide copy paste yang muncul kepermukaan, dan menulis tidak mengerti apa yang ditulis, sehingga ketika ujian dipermasalahkan, diketemukan plagiarisme, dan dinyatakan ujian ulang atau tidak lulus. Sungguh sangat bersedih jika hal ini terjadi pada diri kita, meskipun lulus dan tidak lulus adalah hal biasa dalam tradisi akademik di sebuah perguruan tinggi.
Oleh sebab itu “menulis skripsi bukan seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.” Menulis skripsi harus dipersiapkan dengan matang, mulai dari proses akademik, pelunasan administrasi, dan kematangan keilmuan yang digeluti. Mahasiswa tidak lagi disibukan dengan persoalan eksternal, melainkan fokus pada penyelesaian penelitian skripsi.
Penyelesaian skripsi harus sesuai dengan ketentuan dan standar baku kampus, tidak bisa mengadopsi standar kampus lain. Contohnya mereduksi skripsi kampus orang lain, kemudian diakui milik pribadi, dan terlihat penulisan tidak sesuai standar. Hal ini merupakan dosa besar yang tidak termaafkan dalam tradisi akademik. Atas dasar itu mahasiswa dituntut sering melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing yang sudah diberikan, berdiskusi, dan meminta arahan akademis. Mahasiswa dilarang melakukan ijtihad penulisan sendiri tanpa berkonsultasi dengan pembimbing terkait dalam teknik penulisan. Biasanya mahasiswa yang seperti itu adalah mereka yang tidak punya orientasi akademik, sehingga tidak pernah bimbingan, dan pada sesi sesi akhir baru menyadari kesalahannya lalu minta-minta tandatangan pengesahan secara paksa. Kemudian dalam persidangan tidak bisa menjelaskan, tidak mengerti skripsi yang ditulisnya, salah metodologi penulisan, dan lain sebagainya, maka dipastikan akan dinyatakan tidak lulus ujian atau mengulang ujian.
Kesimpulannya adalah selesaikan administrasi akademik dan keuangan, lalu bergembiralah dalam menyelesaikan skripsi, geluti secara bertahap, luangkan waktu untuk menulis, dan sering-seringlah berkonsultasi. Apa manfaatnya? Jika dalam materi dan penyampaian terdapat persoalan yang tidak bisa diselesaikan, namun rajin berkonsultasi, maka biasanya pembimbing akan menilai keseriusan mahasiswa dalam menyelesaikan studil. Hal itu menjadi bagian penting dalam penilaian. Jika tidak, maka jangan mengharap pembimbing memberikan nilai. Apalagi banyak diketemukan kasus mendaftar ujian munaqasah tanpa seijin pembimbing, dan adanya pemalsuan tandatangan, maka hal ini dipastikan tidak dapat mengikuti ujian.
Wallahu’alam…