Dalam Simposium Seri Kedua yang digelar pada Rabu, (22/5/2024) di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, pemateri Abdul Jalil, MA., memaparkan hasil risetnya tentang status hukum talak di luar Pengadilan Agama. Ketua Tanfidziyah PC NU Sukamatri, Pasar Kemis ini, mengurai perbedaan pendapat yang terjadi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, terkait persoalan tersebut.
Sebelum memasuki masalah khilafiyah yang terjadi antara MUI, NU, dan Muhammadiyah, pria yang sehari-harinya mengajar sebagai dosen di STISNU Nusantara Tangerang dan mengisi taklim di berbagai majelis taklim ini, terlebih dahulu menjelaskan persoalan talak dalam Kompilasi Hukum Islam (HKI). Di dalam HKI, katanya, perceraian hanya dianggap sah apabila diucapkan di depan Pengadilan Agama.
“Ini berarti meski seorang suami berulang kali menyatakan talak kepada istrinya dengan sadar atau tidak ada paksaan, jika tidak dilakukan di depan pengadilan maka talaknya tidak jatuh dan tidak sah. Tidak sah disini bukan hanya sekedar masalah hukum akan tetapi juga tidak sah secara agama,” kata Abdul Jalil, MA., menegaskan.
Dari pemahaman inilah kemudian banyak dari petugas Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun penyuluh agama yang memberikan pernyataan kepada masyarakat bahwa talak di luar pengadilan dianggap tidak sah dan mengajak untuk meninggalkan fiqih klasik yang tidak lagi relevan dengan persoalan yang dihadapi umat masa kini.
“Kita bisa memahami sikap dari para petugas KUA tersbut, karena memang mereka meyakini bahwa apa yang telah dirumuskan oleh KHI jauh lebih maslahat,” ujarnya.
Sementara itu, menurut MUI, kata Abdul Jalil, MA., talak di luar pengadilan tetap sah dan berlaku dengan syarat suami kemudian melaporkan hal tersebut kepada Pengadilan Agama untuk kepentingan kemaslahatan dan menjamin kepastian hukum.
“Dengan demikian, pengadilan agama diposisikan sebagai penguat, pendukung dan pemberi kepastian hukum bagi seorang suami yang menjatuhkan talak di luar pengadilan agama,” katanya.
Berbeda dengan MUI, putusan Bahtsul Masail NU terkait permasalahan talak di luar pengadilan sepenuhnya menggunakan kriteria kesahihan talak menurut pandangan fikih klasik. Dikatakan dimanpun talak akan tetap jatuh dan sah asalkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam kitab-kitab fikih klasik. Sehingga dengan begitu suami tidak perlu untuk melapor ke pengadilan.
“Hal ini bisa terbaca dari keputusan bahtsul masail NU yang sudah dijelaskan di atas, bahwa talak yang diucapkan di depan pengadilan agama, pada saat sedang menjalani masa iddah talak yang diucapkan di luar pengadilan, maka dihitung sebagai talak yang kedua dan seterusnya,” terangnya.
Adapun Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih-nya memberikan keputusan bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai talak dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Perceraian atau talak yang dilakukan di luar sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah karena dianggap tidak memiliki kekuatan hukum merujuk pada ketenatuan Pasal 39 ayat 1 UUP.
Simposium Seri Kedua yang mengusung tema “Kesahihan Talak di luar Pengadilan” dihadiri Wakil Ketua I Bidang Akademik dan SDM, Bapak Ecep Isak Fariduddin, MA, Kaprodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Bapak Ahmaad Suhendra, M.Hum, Kaprodi Manajemen Bisnis Syariah (MBS) Bapak Asrori, MA, Kepala Perpustakaan Bapak Muhil Mubarok, M.Si, dan mahasiswa. Reza Fahmi, M.Pd berperan sebagai moderator yang mengatur jalannya kegiatan.