oleh : Hamdan Suhaemi
Perjalanan hidup bangsa Indonesia sejak dulu selalu dicampuri dengan legenda, mitos, halusinasi, bahkan termasuk mistik hingga untuk disebut sejarah itu agak sulit, padahal itu sejarah. Ketika memilah mana yang sejarah dan mana yang bukan sejarah, harus dengan kejujuran bersikap untuk tentukan bahwa itu fakta dan itu jauh dari fakta. Belum lagi kita dihadapkan oleh subyektivitas di dalam narasi sejarah, alasan yang obyektif itu dihindari karena bersinggungan dengan etika, dan perasaan. Ini yang kemudian sejarah dijebak dengan klaim sepihak.
Sudah waktunya generasi sekarang yang dimudahkan oleh kecanggihan teknologi terutama komunikasi dan informasi untuk menganalisa kembali teks-teks narasi sejarah, meninjau lagi dengan pendekatan obyektif dan rasional, dan sekaligus mengujinya dengan dalil sejarah seperti manuskrip, arsip, dokumen dan bukti arkeologis. Ini harus dilakukan karena sejarah kita selalu ditunggangi kepentingan kekuasaan, disusupi propaganda Belanda, dan ditutup-tutupi dengan klaim.
Kita tidak harus membedah sejarah negeri ini sejak masa tegaknya Kerajaan Salakanagara, tidak mesti mengkaji ulang sejarah Mataram kuno, Kediri, Sriwijaya atau Majapahit, itu terlalu jauh dan saya yakin jika dikaji pun masih cukup steril dari pengaruh kolonial Belanda, karena manuskrip dan fakta arkeologis itu tidak bisa dibelokkan atau dirubah-rubah.
Yang jadi fokus kita dan generasi sekarang ini adalah melek akan nasib negerinya ini dengan peduli atas sejarahnya, dari sejarah itu peradaban Nusantara bisa dilihat dengan benar. Sejarawan besar Indonesia Sartono Kartodirdjo menekankan bahwa sejarah sebagai kisah merupakan suatu konstruksi yang disusun oleh penulis sebagai suatu uraian cerita atau kisah. Kisah yang ditulis merupakan satu-kesatuan dari rangkaian fakta-fakta yang ada dan saling berkaitan.
Penggunaan teori-teori sosial melalui fenomena rapprochement, adalah merupakan titik tolak (point of departure), di mana hasil karya sejarah akan dapat memodifikasi teori-teori itu, membentuk teori-teori baru, serta menempatkan ilmu sejarah sejajar dengan ilmu-ilmu sosial daripada sebagai sub-ordinasi sejarah pada ilmu-ilmu sosial.
Cristopher Lloyd dalam Explanation in Social History (1988) yang mengemukakan bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh ”hukum umum” atau general law, sebab secara metodologis menurutnya tidak ada perbedaan mendasar antara sejarah dengan ilmu-ilmu lainnya. Bukankah dalam sejarah juga bertujuan untuk membuat hubungan-hubungan kausatif (causative connections) yaitu penjelasan itu diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu dibawah hipotesis, teori, atau hukum umum dengan kata lain penjelasan itu diperoleh melalui deduksi dari pernyataan-pernyataan hukum umum.
Kita juga dapat informasi terkait bagaimana memahami sejarah, adalah Fernand Braudel dalam bukunya The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II, ia melihat pendekatan longue durée untuk menekankan efek perlahan dan sering kali tak terlihat dari ruang, iklim dan teknologi terhadap tindakan manusia di masa lalu. Longe duree itu perhatian khusus diberikan pada geografi, iklim, demografi sebagai faktor jangka panjang dan kontinuitas dari struktur terdalam adalah hal yang penting dalam sejarah.
Akhirnya, kita harus berani mengatakan bahwa dekonstruksi sejarah adalah langkah yang semestinya kita lakukan untuk menyuguhkan sejarah yang lurus, tidak terkontaminasi pesanan penguasa, terbebas dari propaganda kolonial Belanda dan terhindar dari dogma, mitos dan sinkretisme. Sejarah harus ditegakkan sebagai sejarah, sejarah adalah catatan faktual yang dilakukan oleh manusia yang mengisi peradabannya. Yang paling penting itu sejarah selalu konsisten mencatat peradaban manusia, karena sejatinya kemanusiaan kita dikuatkan oleh kejujuran sejarahnya.
Serang 6 Januari 2024