STISNU

Agama Menuntun Kebaikan dan Kebenaran

oleh : Hamdan Suhaemi

Peradaban digital ini sudah semakin mengganti peran agama sebagai petunjuk hidup, orang sudah tidak sibuk cari jawaban dari seorang ahli agama ketika menghadapi persoalan, cukup lihat Google praktis ada jawabannya. Perkembangan zaman ini sudah mengarah ke era metaverse, jauh lompatannya cepat sekali, dan itu masa depan kita dan anak cucu kita. Sebuah wajah dunia yang diperkirakan cemerlang ditopang oleh teknologi informasi dan teknologi lingkungan yang extra canggih.

Ketika sudah seperti itu, lalu agama bagaimana? apakah kemudian orang telah mengarah pada kehidupan yang agnostik, bahkan bisa jadi ateistik karena peradabannya sudah tidak dengan sistem nilai agama lagi, bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi itu. Lalu dimana peran agama yang mampu menjawab tantangan besar itu. Saya kira melihatnya pada spiritualitas agama an sich. Dengan kesadaran dan sikap tersebut, menjadi ” kompas ” kemana kehidupan diteruskan.

Pada realitasnya ada dua penyikapan beragama yang berbeda namun pada pendasarannya sama, meski relasinya di luar agama nampak sekali ada yang berbeda, ada yang bersikap dengan formalitas agama ( fisik agamis ), ada juga yang mulai beranjak maju kepada spiritualitas agama, artinya sudah tidak terjebak pada form ( bentuk fisik agamis ) namun sudah pada pelaksanaan substansi agama.

Di luar dua penyikapan itu, terdapat sikap agnostik, dengan tidak menggunakan agama sebagai formalitas, atau pelembagaan agama, namun sudah mengarah pada soal batin yang percaya Tuhan dari basis keyakinan agama-agama, tetapi tidak pada aturan agama sebagai petunjuk ( Hudan li al-Naasi ).

Saya tengahkan kalimat ” Hudan li al-Naasi ” menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya telah menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan ” bayyinaat ” artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502).

Kenapa ada yang tidak menggunakan substansi agama dengan tujuan ” Maqoshidu Syari’ah” ( lima tujuan bersyari’at ), dan lebih memilih menghindar dari sikap substantif ini, mungkin ini dipengaruhi oleh prahara hidup yang agama tidak mampu menjawabnya, sehingga sikap agnostik itu menyeruak di tengah kehidupan keagamaan kita.

Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, istilah agnostik pertama kali diciptakan oleh Thomas Henry Huxley pada tahun 1884. Gagasan Huxley ini merujuk kepada orang yang mengakui dirinya tidak dapat dengan yakin mempercayai atau tidak mempercayai ortodoksi agama atau metafisika. Inilah mula-mula sikap agnostik merebak di banyak negara, terutama di Prancis.

Lalu, apakah sikap agnostik itu salah ketika menjadi pilihan, tentu merujuk pada basis keyakinan pribadi orang itu dianggap pilihan benar diantara formalitas dan spiritualitas agama yang dikotomis itu. Namun kita yang memahami agama tidak lagi pada teks semata namun sudah pada pemahaman kontekstual, tentu sikap agnostik itu adalah sikap yang berlawanan atas makna beragama sebagai petunjuk, dan sebagai ajaran kebaikan dan kasih sayang.

Tawaran dari kita yang menterjemahkan agama sebagai sikap yang Hanif, tentu menjadi pilihan peralihan dari agnostik atau ateistik, bahwa Islam adalah agama yang hanif. Lalu apa sikap hanif itu. Menurut Nurcholish Madjid sikap hanif dalam beragama itu corak atau model beragama yang lapang, toleran, terbuka dan tidak membelenggu jiwa. Hal ini dapat dipahami dari penegasan Allah bahwa bahwa Ibrahim itu bukan Yahudi atau Nasrani, akan tetapi beliau adalah hanifan musliman (muslim yang hanif). Kita mengetahui bahwa sikap beragama yang benar dan lurus yang dicontohkan para nabi sejak nabi pertama hingga nabi terakhir adalah sikap penyerahan atau pemasrahan diri yang ikhlas kepada Allah.

Kalimat akhir, era digital ini tidak lebih proses peradaban yang mengisi ruang dan waktu, dan kepan waktunya akan tergantikan dengan era yang akan datang sebagai anti thesanya atau bisa jadi tumbuh subur thesa baru yang jauh lebih tercahayani kebenaran dan kebaikan. Karena sesungguhnya agama adalah petunjuk kebenaran dan kebaikan untuk keselamatan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak.

Serang 23 Desember 2023

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.