STISNU

Radikalisme, Islam dan Pancasila

Radikalisme, Islam dan Pancasila
(Ahmad Suhendra)
Dampak global dari Islamic State of Iraq-Syria (ISIS) masih menjadi ancaman. Tindakan radikalisme yang dilakukannya membawa dampak negatif secara global. Kekerasan yang dilakukan ISIS sudah melukai nilai-nilai kemanusiaan. Ideologi mereka jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tapi, masih saja ada sebagian dari kita yang ikut bergabung dengan mereka.
John L. Esposito (1997) menjelaskan, realitas Islam di Timur Tengah memang memiliki banyak wajah dan bentuk. Kiprah gerakan-gerakan Islam sebagai penggerak di balik penyebaran dan kebangkitan Islam. Gerakan itu juga menjadi ancaman bagi pemerintahan di negara-negara muslim.
Apabila gerakan itu terus dibiarkan maka akan mengganggu stabilitas nasional. Konsep Islam Nusantara sebagai solusi dari persoalan yang dihadapi masyarakat dunia terkait dengan aksi radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam. Islam Nusantara merupakan Islam yang toleran dan menerima perbedaan dalam perdamaian.
Islam masuk ke Nusantara bukan melalui peperangan, melainkan melalui pernikahan dan perdagangan.
Sehingga secara esensi, masyarakat Nusantara tidak memiliki sejarah peperangan dalam bentuk agama.
Islam Nusantara yang dibangun dari tradisi yang hidup.
Karena Islam yang dibawa Walisongo dengan pendekatan budaya. Sehingga, Islam di Indonesia memiliki corak berbeda dengan Islam di Timur Tengah pada umumnya. Di Indonesia, Islam hadir dengan wajah yang ramah terhadap budaya, adat istiadat dan tradisi Nusantara.
Corak itulah yang melahirkan “Islam Nusantara”. Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan local wisdom. Islam yang menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Dari situlah Islam corak Nusantara selalu menerima dan mengakomodasi Negara dan Pemerintah.
 
Islam Nusantara dan Pancasila
Islam Nusantara tidak mempertentangkan masalah Pancasila. Karena Islam sebagai sebuah agama itu di atas segalanya, sehingga tidak bisa disejajarkan dengan Pancasila. KH Achmad Siddiq, seorang kiai dari Jember memiliki jasa besar dalam mensinergikan Islam dan Pancasila. Berkat pemikirannya tokoh-tokoh Islam yang semula menolak dapat menerima Pancasila.
Menurutnya Pancasila adalah ideologi dan Islam adalah agama. Ideologi, pada umumnya diartikan berkaitan dengan cita-cita, filsafat, program perjuangan, strategi dan sasarannya. Karena kompleksnya hal-hal yang terkandung dalam ideologi sehingga mampu mempengaruhi watak dan tingkah laku penganutnya.
Bahkan ada yang secara berlebihan menganggap ideologi adalah agama. Padahal biar bagaimanapun hebatnya ideologi ia tetap hasil pemikiran manusia, dan tidak akan sampai ke derajat agama.
Kita sebagai pemeluk agama boleh saja berfilsafat, berideologi, berbudaya dan bernegara. Namun ideologi dan sebagainya itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Kita juga harus dapat menempatkannya secara tepat dan proporsional.
Sedangkan Islam adalah wahyu dan ciptaan Tuhan (wad’un ilahiyyun), bukan hasil pemikiran manusia. Karena itu, agama tidak boleh disetingkatkan dengan ideologi. Tetapi, Islam menerima ideologi yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam.
Hubungan antara Islam dan Pancasila dapat sejalan, saling menunjang dan saling menguatkan. Keduanya dapat bersama-sama dilaksanakan dan diamalkan, tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan meninggalkan yang lainnya. Karena itu, sangat tepat kebijaksanaan pemerintah bahwa Pancasila tidak akan diagamakan dan agama tidak akan dipancasilakan.
Ada tiga pertimbangan, menurut Kiai Achmad Siddiq, umat Islam menerima Pancasila. Pertama, umat Islam Indonesia (melalui para pemimpinnya) ikut aktif dalam perumusan dan kesepakatan tentang Dasar Negara itu. Sembilan tokoh utama bangsa yang terkenal dengan Panitia Sembilan, berhasil menyusun rancangan rumusan yang ketika itu disetujui oleh semua pihak.
Kedua, secara subtansial nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dapat dibenarkan menurut pandangan Islam. Misalnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan Tauhid (monoteisme murni), sebagaimana dalam surah al-Ikhlas.
Demikian pula mengenai empat sila berikutnya. Kalau ditampilkan satu persatu maka tidak ada satupun yang bertentangan dengan Islam. Bahkan urutan-urutan Pancasila itu dapat dibaca dalam kerangka amanu wa amilush shalihat, yakni masalah keimanan dan amal saleh.
Sila pertama dianggap sebagai pencerminan ‘aamanu maka kiranya tidak terlalu keliru kalau empat sila berikutnya dapat mencerminkan ‘amilus shalihat.’
Ketiga, umat Islam berkepentingan dengan memantapkan peranan agama dalam penghayatan dan pengamalan ideologi nasional. Karena Islam sendiri memuat dan membawa nilai-nilai luhur yang bersumber pada wahyu yang dapat memberi kontribusi bagi pembangunan nasional.
Penghayatan atas Pancasila akan semakin memperteguh keimanan kita. Islam Nusantara mengajarkan kedamaian dan keramahan. Itu akan semakin kuat dengan penghayatan atas nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan keduanya maka gerakan-gerakan radikal yang mengarah pada kekerasan tidak akan mendapatkan ruang di Nusantara.
Tugas bangsa Indonesia adalah bagaimana memproporsionalisasikan (wad’u syai’in fi mahallihi) antara Pancasila dan Islam. Sehingga benar-benar terbukti bahwa di dalam negara dan masyarakat Pancasila ini, agama dapat diamalkan dengan baik dan sebaliknya umat beragama di negeri ini merupakan tulang punggung ideologi Nasional Pancasila.
Oleh Ahmad Suhendra, Santri dan Dosen STISNU Nusantara Tangerang

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.