STISNU

Strategi Gattopardo, Berubah agar Segalanya Tetap Sama!

Catatan kecil atas Reformasi 1998

Strategi Gattopardo, Berubah agar Segalanya Tetap Sama!

Oleh Abdul Hakim, Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Nusantara Tangerang

 

Dalam dunia politik dan kekuasaan, terdapat strategi licin yang kerap digunakan oleh elite untuk mempertahankan dominasinya di tengah tuntutan perubahan: strategi Gattopardo. Istilah ini diambil dari novel Il Gattopardo (1958) karya Giuseppe Tomasi di Lampedusa, yang menggambarkan bagaimana elite bangsawan di Sicilia abad ke-19 menyesuaikan diri dengan arus revolusi bukan untuk menyerahkan kekuasaan, melainkan untuk memastikan kekuasaan itu tetap berada di tangan mereka. Prinsip utamanya sederhana tapi penuh ironi: ‘berubah agar segalanya tetap sama’.

Salah satu ciri utama strategi ini adalah perubahan semu—di mana reformasi dilakukan secara kosmetik, tanpa menyentuh fondasi struktur kekuasaan yang sesungguhnya. Ini adalah seni menyulap wajah sistem tanpa mengusik jantungnya. Selain itu, strategi ini kerap memakai taktik kooptasi elit, yaitu dengan merangkul kelompok yang sebelumnya dianggap oposisi ke dalam sistem lama. Kaum reformis, aktivis pro-demokrasi, bahkan intelektual kritis, diberi ruang dalam struktur kekuasaan—entah sebagai menteri, komisaris, atau penasihat—namun bukan untuk mengubah sistem, melainkan untuk menjinakkan potensi ancaman mereka. Dalam pelukan kekuasaan, mereka dijadikan perisai simbolik bahwa perubahan telah terjadi, padahal sejatinya hanya kulitnya yang berganti.

Di sisi lain, publik sering digiring ke dalam narasi-narasi besar yang bersifat simbolik dan penuh distraksi. Distraksi publik ini bisa berupa pergantian menteri, penciptaan wacana populis, atau isu-isu moral yang viral di media. Fokus masyarakat dialihkan dari persoalan struktural seperti ketimpangan ekonomi atau korupsi sistemik, ke isu-isu permukaan yang cepat memancing emosi tapi tidak membawa perubahan nyata.

Strategi ini kerap membungkus dirinya dengan legitimasi semu melalui prosedur demokrasi. Pemilu tetap digelar, partisipasi publik dijanjikan, konsultasi dan survei dilakukan. Namun, hakikat kekuasaan tetap berada di tangan segelintir elit yang mengendalikan sumber daya, media, dan sistem hukum. Demokrasi digunakan bukan sebagai sarana untuk memperluas kuasa rakyat, melainkan sebagai topeng agar kekuasaan lama tampil sah dan tak tergugat.

Strategi Gattopardo adalah cermin dari betapa canggihnya kekuasaan bertahan dalam bayang-bayang perubahan. Dalam dunia yang terus bergerak, para penguasa yang tak ingin kehilangan pijakan tahu betul bahwa untuk tetap bertahan, mereka harus ikut menari—asal tetap memegang kendali atas iramanya.

Wajah Lama dalam Sistem Baru

Setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi dengan harapan besar: demokratisasi, pemberantasan korupsi, dan pemerataan kekuasaan yang lebih adil. Namun, seiring waktu, harapan tersebut mulai terperangkap dalam jebakan strategi Gattopardo—sebuah taktik politik di mana perubahan yang tampak dilakukan hanya untuk memastikan bahwa struktur kekuasaan yang lama tetap bertahan. Dalam konteks Indonesia pasca-reformasi, strategi ini paling kentara dalam praktik kooptasi elite lama ke dalam sistem baru.

Alih-alih tersingkir, banyak tokoh kunci dari era Orde Baru justru berhasil menyesuaikan diri dengan lanskap politik baru. Mereka berpindah kendaraan politik—dari Golkar ke partai-partai baru seperti Partai Demokrat, Nasdem, PAN, atau Gerindra—namun tetap memainkan peran sentral dalam perebutan kekuasaan. Demikian pula anak-anak dan kroni Suharto, tetap aktif mengukir pengaruh dalam politik dan bisnis, memelihara jejaring yang telah terbangun sejak era lama.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun institusi-institusi demokrasi tampak tumbuh—pemilu langsung, kebebasan pers, partisipasi publik—struktur kekuasaan oligarkis pada dasarnya tidak runtuh, melainkan hanya berganti kulit. Wajah-wajah baru di permukaan sering kali mewarisi, atau bahkan dikendalikan oleh, kekuatan lama yang terus memainkan peran di balik layar. Reformasi pun, dalam banyak hal, menjadi panggung untuk perubahan simbolik yang tak benar-benar mengusik akar ketimpangan dan dominasi elite.

Pasca-reformasi, Indonesia mengadopsi berbagai instrumen demokrasi modern—mulai dari pemilu multipartai hingga desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjadi tonggak penting yang memberikan wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Di atas kertas, ini adalah langkah progresif menuju pemerataan kekuasaan dan penguatan partisipasi publik di tingkat lokal. Namun dalam praktiknya, semangat desentralisasi ini kerap dibajak oleh kekuatan-kekuatan lama yang berganti rupa. Alih-alih melahirkan kepemimpinan baru yang berakar dari rakyat, otonomi daerah justru membuka ruang bagi tumbuh suburnya dinasti politik. Di berbagai wilayah, kekuasaan lokal tidak benar-benar terdistribusi secara adil, melainkan terkonsentrasi di tangan segelintir keluarga yang mewarisi pengaruh dari era sebelumnya.

Fenomena ini diperparah dengan pemilu multipartai yang sejatinya memberi pilihan. Meskipun jumlah partai politik bertambah pasca-Orde Baru, banyak dari partai tersebut justru menjadi kendaraan baru bagi tokoh-tokoh lama. Mantan elite Orde Baru, pengusaha besar, dan figur oligarkis dengan mudah menguasai partai melalui modal dan jaringan kekuasaan, menjadikan demokrasi prosedural sekadar alat legitimasi. Dalam iklim seperti ini, rakyat diberi hak untuk memilih, tetapi pilihan yang tersedia sering kali hanyalah variasi dari kekuasaan yang itu-itu juga.

Dengan demikian, demokrasi di Indonesia kerap berjalan secara semu: prosedur dijalankan, simbol-simbolnya tampak hidup, tetapi substansinya—yakni distribusi kuasa yang adil dan keterwakilan rakyat—masih jauh dari harapan. Strategi Gattopardo kembali bekerja di sini: sistem berubah bentuk, namun isi kekuasaan tetap dikuasai oleh elite yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Di sisi lain, Reformasi agraria di Indonesia pasca-reformasi seolah menjanjikan sebuah pembalikan struktur kepemilikan tanah yang timpang, dengan semangat mengembalikan hak rakyat atas sumber daya agraria. Program-program seperti TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan Perhutanan Sosial digagas sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan agraria melalui redistribusi lahan kepada petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya. Namun di balik retorika populis tersebut, reformasi agraria yang dijalankan justru kerap sekedar retorika—lebih menekankan citra keberpihakan ketimbang perubahan struktural yang nyata.

Di atas permukaan, negara tampak membagi-bagikan tanah kepada rakyat. Namun jika ditelaah lebih dalam, tanah yang didistribusikan sering kali hanyalah lahan-lahan marginal—bekas hutan, lahan kering, atau wilayah yang kurang produktif secara ekonomi. Sementara itu, lahan-lahan subur dan bernilai tinggi tetap berada dalam cengkeraman korporasi besar dan pemilik modal lama. Ketimpangan struktural dalam kepemilikan tanah tidak tersentuh, bahkan sering kali justru dilegitimasi melalui skema-skema formal yang tampak legal.

Salah satu contoh mencolok dari paradoks ini adalah konflik agraria di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Para petani lokal yang menggantungkan hidup pada tanah leluhur mereka justru harus berhadapan dengan kekuatan modal dan mesin negara, ketika proyek pembangunan pabrik semen yang didukung oleh elite politik mengancam ruang hidup mereka. Dalam kasus ini, negara bukan sekadar gagal melindungi rakyatnya, tetapi justru menjadi bagian dari mekanisme perampasan hak melalui aliansi dengan kepentingan korporasi.

Korupsi dan Jejaring Oligarki

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 pernah dipandang sebagai tonggak penting dalam sejarah reformasi Indonesia—simbol komitmen negara untuk memerangi korupsi secara tegas dan independen. Lembaga ini tampil sebagai harapan baru, berani menjerat pejabat tinggi, anggota legislatif, hingga aparat penegak hukum, dan dengan cepat memperoleh kepercayaan publik. Namun, seiring berjalannya waktu, arah pemberantasan korupsi di Indonesia memasuki fase ambivalen, ketika semangat awal yang progresif mulai dirongrong oleh kepentingan politik dan oligarki.

Momentum pelemahan paling nyata terjadi melalui revisi Undang-Undang KPK, terutama dengan disahkannya UU No. 19 Tahun 2019. Revisi ini tidak hanya mengubah status kelembagaan KPK menjadi bagian dari eksekutif, tetapi juga membatasi kewenangan pentingnya, seperti penyadapan dan rekrutmen pegawai independen. Alih-alih memperkuat KPK, revisi ini justru dianggap publik sebagai bentuk penjinakan terhadap lembaga antirasuah—upaya sistematis untuk mengendalikan institusi yang selama ini berada di luar jangkauan kekuasaan.

Di sisi lain, praktik politisasi hukum semakin memperkeruh upaya pemberantasan korupsi. Penegakan hukum tidak lagi murni dijalankan atas dasar keadilan, melainkan kerap digunakan sebagai alat politik untuk menekan lawan dan mengamankan posisi. Sejumlah figur oposisi politik kerap menjadi sasaran sorotan dan investigasi, sementara berbagai dugaan korupsi yang melibatkan lingkaran dalam kekuasaan sering kali berakhir tanpa kejelasan atau bahkan tidak tersentuh sama sekali.

Kondisi ini menegaskan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia telah bergeser dari medan perjuangan moral menjadi panggung pertarungan kuasa. Lembaga-lembaga yang semula dibentuk untuk menciptakan perubahan struktural, kini justru digunakan sebagai alat reproduksi status quo. Dalam semangat Gattopardo, institusi antikorupsi boleh jadi tetap ada, jargon-jargon reformasi masih dilantangkan, tetapi ruh dan keberaniannya perlahan dikikis dari dalam. Perubahan tetap digemakan, namun hanya sejauh tidak mengusik kenyamanan mereka yang sudah lama bercokol di puncak kekuasaan.

Pasca kejatuhan Orde Baru, banyak yang berharap struktur ekonomi Indonesia akan mengalami pembaruan mendasar, terutama dengan memutus jejaring kapitalisme kroni yang selama puluhan tahun menguatkan relasi mesra antara penguasa dan pengusaha. Namun harapan itu tampaknya hanya tinggal harapan. Yang terjadi justru adaptasi canggih dari para aktor lama, di mana konglomerasi warisan Orde Baru tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga bertransformasi dengan strategi baru yang lebih lentur dan penuh perhitungan.

Alih-alih tergulung arus reformasi, mereka memilih untuk menyesuaikan diri: memperluas jejaring bisnis, membentuk aliansi strategis dan membangun citra sebagai entitas profesional yang netral terhadap politik. Namun di balik pergeseran taktis ini, struktur monopoli dan dominasi terhadap aset-aset vital tetap lestari. Kekuasaan ekonomi tidak didistribusikan secara adil, melainkan dikonsolidasikan kembali dalam format yang tampak lebih modern, namun substansinya tidak jauh berbeda dari era sebelumnya.

Lebih jauh, keterhubungan antara kekuasaan politik dan kapital besar tetap menjadi pola yang mengakar. Dalam banyak kasus, pejabat publik yang terpilih justru memiliki afiliasi langsung maupun tidak langsung dengan para konglomerat. Kuatnya aliansi antara penguasa dan pengusaha menunjukkan bagaimana kepentingan bisnis dan politik sering berkelindan dalam jaringan yang saling menopang. Kekuasaan politik tidak hanya menjadi alat regulasi, tetapi juga jembatan untuk memperluas kapital.

Inilah wajah baru dari kapitalisme kroni di era reformasi: tidak lagi vulgar seperti di masa Orde Baru, tetapi tetap menyimpan struktur ketimpangan yang sama. Dalam semangat Gattopardo, oligarki bergerak bukan untuk dihapus, melainkan untuk dibaurkan dalam narasi perubahan. Dengan mengadaptasi leksikon politik demokrasi dan pembangunan, mereka tetap menjaga pusat-pusat kekuasaan ekonomi yang lama, bahkan ketika lanskap politik tampak berubah. Perubahan terjadi, tetapi hanya sebatas bentuk—bukan fondasi.

Bayang-Bayang Dwi Fungsi yang Tak Pernah Pergi

Reformasi 1998 secara formal menandai penghapusan Dwi Fungsi ABRI—doktrin yang memberi militer peran ganda dalam urusan pertahanan dan pemerintahan sipil. Di atas kertas, ini adalah langkah besar menuju supremasi sipil dan demokratisasi. Namun dalam praktik, pengaruh militer dalam politik tidak benar-benar sirna; ia hanya berubah bentuk dan menyesuaikan diri dengan lanskap baru yang lebih demokratis di permukaan, namun tetap membuka ruang bagi keterlibatan institusi bersenjata dalam urusan kekuasaan.

Sejumlah tokoh militer tetap aktif di gelanggang politik, berpindah dari barak ke kursi kekuasaan tanpa banyak halangan. Sejumlah pensiunan jenderal masih memainkan peran strategis dalam pembentukan kebijakan nasional. Keberadaan mereka di lingkaran istana bukan semata nostalgia terhadap masa lalu, tetapi juga cerminan keberlanjutan pengaruh militer dalam konstruksi kekuasaan sipil.

Lebih jauh, fenomena militerisasi sipil juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Ketika instrumen negara seperti TNI dan Polri tidak hanya terlibat dalam urusan keamanan, tetapi juga menyusup ke wilayah-wilayah sipil—mulai dari jabatan birokrasi hingga penguasaan sektor ekonomi dan pengamanan proyek strategis—maka sekat antara sipil dan militer menjadi kabur. Dalam beberapa kasus tragis, seperti pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, muncul kecurigaan kuat akan eksistensi jaringan kekuasaan tersembunyi—deep state—yang bekerja di luar mekanisme hukum dan akuntabilitas publik.

Situasi ini menggambarkan bahwa meskipun struktur formal Dwi Fungsi telah dihapus, semangat dan pengaruhnya masih membayangi sistem politik Indonesia.

Mengapa Strategi Gattopardo Bertahan?

Strategi Gattopardo—yakni berubah agar segala sesuatu tetap sama—berhasil bertahan di Indonesia pasca-reformasi karena ditopang oleh fondasi kekuasaan Orde Baru yang tak pernah benar-benar tumbang. Infrastruktur politik lama yang terdiri dari jaringan birokrasi, militer, dan kelompok bisnis yang mengakar selama puluhan tahun tetap menjadi penopang utama kekuasaan, meskipun bendera dan jargon yang dikibarkan telah berubah. Para aktor utama era Orba, alih-alih tersingkir, justru mampu beradaptasi dan membaur dalam sistem politik baru dengan kecanggihan yang nyaris tak terdeteksi oleh publik luas.

Keberhasilan strategi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat yang terfragmentasi. Isu-isu sektarian seperti suku, agama, dan ras (SARA) kerap dimanfaatkan sebagai alat distraksi yang efektif—mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan struktural seperti ketimpangan ekonomi, pembajakan demokrasi, dan impunitas pelanggaran HAM. Politik identitas menjadi panggung utama, sementara oligarki bekerja di balik layar dengan tenang dan konsisten.

Di sisi lain, transisi dari Orde Baru menuju era reformasi berlangsung tanpa proses revolusioner. Tidak ada pengadilan atau mekanisme pertanggungjawaban yang memadai terhadap para pelanggar HAM berat masa lalu—seperti dalam kasus Tragedi 1965 maupun kerusuhan Mei 1998. Ketiadaan keadilan transisional ini membuat kekuatan lama tidak pernah mengalami delegitimasi secara tuntas. Mereka tidak hanya lolos dari sanksi hukum dan moral, tetapi juga berhasil merebut kembali posisi strategis dalam pemerintahan dan ekonomi.

Dengan demikian, reformasi yang seharusnya menjadi momen pemutusan dari masa lalu justru menjelma menjadi jembatan yang menghubungkan kontinuitas kekuasaan lama ke dalam era baru. Dalam kemasan demokrasi prosedural dan jargon populis, warisan Orde Baru bertransformasi tanpa benar-benar berubah. Strategi Gattopardo pun menjelma bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai kecanggihan politik dalam mempertahankan status quo melalui adaptasi simbolik.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang tak bisa dihindari: Apakah Indonesia sungguh-sungguh berubah, ataukah kita hanya menyaksikan pergantian aktor di atas panggung yang sama? Jika wajah-wajah baru ternyata membawa warisan lama, maka reformasi tidak lebih dari dekorasi politik—upaya untuk merapikan tampilan luar (façade) tanpa menggali fondasi baru yang lebih adil dan partisipatif.

Maka, tantangan terbesar kita hari ini adalah bagaimana memecahkan siklus Gattopardo yang memenjara perubahan dalam ilusi. Ini bukan soal mengganti tokoh semata, melainkan membongkar struktur dominasi yang membuat kekuasaan selalu jatuh ke tangan yang sama. Perlu keberanian politik untuk mendorong demokratisasi substansial: reformasi hukum yang menyentuh jantung kekuasaan, desentralisasi yang berpihak pada rakyat, dan redistribusi ekonomi yang nyata.

Tanpa itu semua, Indonesia akan terus menjadi demokrasi seolah-olah—tampak bebas dan terbuka di permukaan, tetapi dikendalikan oleh sedikit orang yang sangat paham bagaimana mempertahankan kekuasaan lewat simbol perubahan. Seperti dikatakan Lampedusa dalam Il Gattopardo: “Jika kita ingin segala sesuatu tetap seperti sekarang, segala sesuatu harus berubah.” Di Indonesia, perubahan itu sendiri telah menjadi alat pelestarian kekuasaan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses