SINERGI ŠIRKAH ABDAN DALAM RUMAH TANGGA
Menilik Harta Gono-Gini Dalam Perspektif Fikih Dan Hukum Indonesia
Oleh: Dr. KH. Mohamad Mahrusillah Zarkasyi, MA
Dosen STISNU Nusantara Tangerang
Dalam fikih Islam klasik, konsep harta bersama (gono gini) sebagaimana dikenal dalam hukum modern tidak ditemukan. Harta gono-gini adalah istilah dalam masyarakat Indonesia untuk harta bersama yang diperoleh suami istri selama masa pernikahan. Harta ini mencakup semua aset yang didapatkan selama pernikahan, tanpa melihat siapa yang mencari atau atas nama siapa harta tersebut. Dalam hukum positif, harta ini akan dibagi dua jika terjadi perceraian, kecuali ada perjanjian pisah harta.
Ketentuan harta bersama dalam UU nomer 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 35. Dalam pasal tersebut, diterangkan bahwa harta dalam perkawinan (rumah tangga) dibedakan menjadi:
- Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi “harta bersama”; dan
- Harta bawaan masing-masing suami istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan.
- Harta pribadi sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Kemudian, harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam atau KHI diatur dalam Pasal 85 s.d. Pasal 97 KHI, yang menerangkan bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:
- Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;
- Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;
- Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
- Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
- Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan
Dalam pengajian rutin setiap Senin sore di Masjid Nurul Jannah TSI Semanan, Jakarta Barat, Kiai Zulfa Musthafa menjelaskan bahwa suami dan istri saling bekerja sama membangun rumah tangga dengan menjalankan tugas masing-masing. Suami berusaha mencari nafkah di luar rumah, sementara istri mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga. Karena itu, peran istri juga dianggap sebagai bagian penting dari usaha bersama dalam rumah tangga.
Dari penjelasan Kiai Zulfa ini, dapat penulis simpulkan bahwa harta yang diperoleh selama pernikahan adalah hasil kerja sama suami dan istri dalam bentuk širkah ʿabdan, yaitu kerja sama antara dua pihak dalam satu usaha, sehingga harta tersebut dianggap milik bersama. Jika hubungan pernikahan berakhir, baik karena perceraian maupun kematian, maka harta tersebut dibagi secara adil atau sesuai pertimbangan hakim. Namun, jika pembagian merata tidak memungkinkan, maka pembagian dilakukan berdasarkan upah yang layak sesuai kebiasaan setempat. Konsep širkah abdan ini sendiri dijelaskan oleh Syaikh Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab.
فَإِذَا اكْتَسَبَا وَانْفَرَدَا .. فَلِكُلِّ كَسْبِهِ، وَإِلَّا .. قَسَمُ الْحَاصِلِ عَلَى قُدْرَةِ أُجْرَةِ الْمِثْلِ شِرْكَةُ أَبْدَانٍ بِأَنْ يَشْتَرِكَا أَيِّ اِثْنَانِ لِيَكُونَ بَيْنَهُمَا كَسْبُهُمَا بِبَدَنِهِمَا مُتَسَاوِيًا كَانَ أَوْ مُتَفَاوِتًا مَعَ اِتِّفَاقِ الْحِرْفَةِ
Artinya: Syirkah abdan adalah kerja sama dua orang dalam usaha fisik, baik dengan pembagian kerja yang sama atau berbeda namun dengan kesesuaian bidang kerja. [1]
Hal ini sejalan dengan Keputusan Konbes PBNU (Konferensi Besar PBNU) ke-1 tahun 1960, yang menyatakan bahwa pembagian harta gono-gini diperbolehkan, baik suami dan istri sama-sama memiliki modal (kapital) maupun tidak. Asalkan harta tersebut diusahakan secara bersama-sama dan telah bercampur, maka keduanya memiliki hak atas harta tersebut. Pandangan ini mencerminkan prinsip keadilan dalam kerja sama suami istri dalam membangun kehidupan rumah tangga. Pendapat ini diperkuat oleh Hamisy kitab Syarqawi:
إِذَا حَصَلَ اشْتِرَاكٌ فِي لُمَّةٍ… إِنْ كَانَ لِكُلِّ مَتَاعٍ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَاكْتَسَبَا، فَإِنْ تَمَيَّزَا فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ، وَإِلَّا اصْطَلَحَا، فَإِنْ كَانَ النَّعْمَاءُ مِنْ مِلْكِ أَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ، فَالْكُلُّ لَهُ، وَلِلْبَاقِينَ الْأُجْرَةُ، وَلَوْ بِالْغُنْمِ لِوُجُودِ الِاشْتِرَاكِ.
Artinya: Jika terjadi persekutuan dalam suatu kumpulan harta… baik masing-masing memiliki harta atau salah satu tidak memiliki harta, maupun keduanya berusaha bersama, maka jika harta tersebut dapat dibedakan, maka masing-masing mendapat bagian sesuai usahanya. Namun jika tidak dapat dibedakan, maka keduanya harus berdamai. Apabila harta itu berasal dari milik salah satu pihak dalam keadaan seperti ini, maka seluruh harta menjadi milik yang bersangkutan, dan pihak lainnya berhak mendapatkan upah, meskipun ada keuntungan karena adanya persekutuan.[2]
Masih berkaitan dengan harta bersama, ditegaskan pula oleh Syekh Syihabuddin ar-Ramli:
فَإِذَا اكْتَسَبَا وَانْفَرَدَا .. فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ، وَإِلَّا قُسِمَ الْحَاصِلُ عَلَى قُدْرَةِ أُجْرَةِ الْمِثْلِ
Artinya: Jika dua orang berusaha bersama lalu berpisah, hasilnya dibagi merata; jika tidak bisa, dibagi sesuai dengan upah yang berlaku di masyarakat.[3]
Kesimpulan: harta gono-gini, meski tidak dikenal dalam fikih Islam klasik sebagai harta bersama, dalam hukum Indonesia diatur sebagai harta yang diperoleh suami istri selama pernikahan dan dianggap hasil kerja sama atau širkah ʿabdan antara keduanya. UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam membedakan harta bawaan dan harta bersama yang diperoleh selama menikah, yang kemudian dapat dibagi saat perceraian atau berakhirnya ikatan perkawinan. Prinsip ini diperkuat oleh fatwa Bahtsul Masa’il Konferensi Besar PBNU dan pendapat ulama yang menegaskan pembagian harta bersama boleh dilakukan selama harta diusahakan bersama dan telah bercampur.
[1]Syaikh Zakariya al-Anshari, Fathul Wahab, [Penerbit: Daru al-Fikr], jilid 1, hal 255
[2]Musthafa adz-Dzahabi, Taqrir Musthafa adz-Dzahabi, Hasyiyah Asy-Syarqawi, [Bayrūt: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 1226H], jilid II, hal. 109.
[3]Syaikh Syaḥābuddīn ar-Rāmlī, Fathurrahmān syarḥ Zubād Ibn Ruslān, [Bayrūt: Dār al-Minḥāj, 2009], jilid I, hal. 624.