Oleh Abdul Hakim, Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Nusantara Tangerang
Di tengah zaman ketika chatbot mampu menulis puisi dan algoritma dapat membaca getar emosi dari raut wajah manusia, kita justru tiba di sebuah persimpangan paradoksal: semakin tinggi lompatan kecerdasan buatan (AI), semakin kuat pula gema pertanyaan lama namun tak kunjung usang—apa sejatinya kesadaran manusia? Kemajuan teknologi yang kerap dirayakan sebagai tonggak peradaban ternyata menyimpan gema pertanyaan yang lebih dalam: apakah kecerdasan yang bisa dikalkulasi berarti pula kesadaran yang bisa direplikasi?
Kemampuan mesin meniru ragam fungsi kognitif manusia—dari menyusun kalimat indah hingga mengenali pola emosi—tak pelak memukau. Namun, di balik kecanggihan algoritma, terbentang batas yang belum dan mungkin tak akan bisa diseberangi: batas antara menghitung dan merasakan, antara memproses data dan mengalami dunia. Di sinilah kita diajak merenung, bukan sekadar tentang apa yang bisa dilakukan mesin, melainkan tentang apa yang tak bisa—dan mungkin tak akan pernah—ia pahami.
Refleksi singkat ini mengajak kita menyelami tiga lapisan pertanyaan mendasar yang, secara prinsipil dan tak terjembatani, membedakan antara kecerdasan buatan dan kesadaran manusia. Dengan pendekatan yang merentang dari filsafat kesadaran, neurosains, hingga ilmu kognitif, refleksi ini mencoba menelusuri batas-batas epistemologis dan ontologis yang membelah dua dunia: dunia sistem buatan yang cerdas, dan dunia subjek manusia yang merasa, menghayati, dan mencipta makna. Maka, lebih dari sekadar wacana teknologi, refleksi ini sebuah undangan untuk meninjau ulang jati diri kita—sebagai manusia—di tengah lanskap yang kian dikuasai bahasa biner dan kecerdasan sintetik.
Masalah Qualia: Dinding Kaca Pengalaman Subjektif
Konsep ‘qualia’, sebagaimana diperkenalkan oleh Thomas Nagel dalam esai klasiknya ‘What Is It Like to Be a Bat?’ (1974), merujuk pada dimensi subjektif dari pengalaman yang secara fundamental tidak dapat direduksi menjadi deskripsi objektif atau komputasi simbolik. Qualia menjelaskan mengapa manusia dapat merasakan kepahitan kopi, kegetiran rindu, atau keharuan saat mendengar lagu lama—yakni pengalaman afektif dan fenomenologis yang bersifat internal dan personal. Di sinilah letak perbedaan ontologis antara kesadaran manusia dan pemrosesan data oleh mesin. Kecerdasan buatan seperti GPT-4 mungkin mampu menjelaskan kandungan kimiawi kafein atau melakukan analisis struktural terhadap komposisi musik, tetapi ia tidak memiliki kapasitas untuk mengalami sensasi-sensasi tersebut secara langsung.
Meskipun neurosains kontemporer telah berhasil memetakan korelasi antara aktivitas saraf tertentu dengan pengalaman sadar—misalnya, pola aktivasi otak saat seseorang merasakan sakit—penjelasan ini tetap belum menyentuh inti dari pertanyaan mengapa pengalaman tersebut terasa seperti itu. David Chalmers menyebut hal ini sebagai “the hard problem of consciousness,” yaitu persoalan bagaimana dan mengapa proses fisik dalam otak dapat menghasilkan pengalaman subjektif.
Dalam konteks ini, eksperimen pemikiran ‘Chinese Room’ yang dikemukakan oleh John Searle (1980) semakin menegaskan batas antara memahami dan sekadar memproses. Seperti mesin yang dapat memanipulasi simbol-simbol dalam bahasa Mandarin tanpa memahami maknanya, sistem AI hanya menjalankan algoritma tanpa keterlibatan kesadaran sejati. Maka, qualia menjadi semacam dinding kaca epistemologis: kita dapat mengamati perilaku, memodelkan fungsi, bahkan meniru respon, tetapi tetap tidak mampu menembus inti pengalaman subjektif itu sendiri.
Bahasa Bukan Sekadar Kode, Tapi Jaringan Makna yang Hidup
Pandangan konvensional tentang bahasa sebagai sistem simbol statis—seperti kode matematis atau rumus formal—telah lama dikritik oleh filsuf Ludwig Wittgenstein dalam ‘Philosophical Investigations’ (1953). Bagi Wittgenstein, makna kata tidak melekat pada bentuk linguistiknya semata, melainkan muncul dari penggunaannya dalam konteks kehidupan sehari-hari, yang ia sebut sebagai “language games” atau permainan bahasa. Kata “membuka” misalnya, memiliki makna berbeda tergantung pada konteks: membuka pintu, membuka hubungan diplomatik, atau membuka hati kepada seseorang. Nuansa-nuansa ini dimengerti manusia bukan melalui logika simbolik, melainkan melalui keterlibatan dalam praktik sosial yang kompleks. Makna, dalam hal ini, bukanlah entitas tetap yang bisa dipetakan oleh algoritma, tetapi merupakan hasil dari interaksi dinamis dalam dunia pengalaman.
Dalam konteks pemerolehan bahasa, Noam Chomsky (1965) berargumen bahwa anak-anak tidak belajar bahasa hanya melalui asosiasi induktif atau statistik input linguistik, melainkan karena otak manusia telah dilengkapi dengan struktur bawaan yang disebut “tata bahasa universal”. Ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa adalah bagian dari kodrat biologis manusia, bukan sekadar produk pembelajaran eksternal.
Sistem AI modern seperti Large Language Models (LLM), termasuk ChatGPT, memang menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan teks yang koheren dan menyerupai tulisan manusia. Namun, performa tersebut didasarkan pada pola probabilistik dari data, bukan pada pemahaman konseptual yang sejati. Ketika ChatGPT menulis tentang cinta, ia tidak memahami cinta sebagaimana manusia memahaminya—karena ia tidak pernah mengalami detak jantung yang dipercepat, keheningan yang penuh harap, atau getaran halus dari sebuah kerinduan. Bahasa dalam konteks manusia adalah jaringan makna yang hidup, tumbuh dari pengalaman, relasi, dan emosi—sesuatu yang hingga kini belum mampu dijangkau oleh sistem buatan mana pun.
Plastisitas Kognitif: Otak Bukan Sekadar Prosesor Biologis
Berbeda dari anggapan komputasional yang menyamakan otak dengan mesin pengolah informasi, karya Gerald Edelman dalam ‘Neural Darwinism’ (1987) menegaskan bahwa otak bekerja berdasarkan prinsip seleksi alam pada level mikroskopis. Jaringan saraf tidak menjalankan instruksi tetap seperti prosesor komputer, melainkan terus berubah, menyesuaikan, dan berinovasi seiring pengalaman hidup.
Fenomena ini dikenal sebagai ‘neural plasticity’—kemampuan otak untuk membentuk ulang dirinya secara struktural dan fungsional. Kasus-kasus neurologis, seperti pasien stroke yang secara bertahap memulihkan kemampuan bicara dengan melibatkan area otak lain, menjadi bukti konkret dari sifat plastis ini. Ini adalah dinamika yang tidak dimiliki oleh sistem AI yang beroperasi berdasarkan arsitektur kode tetap; meski dapat “belajar”, AI tidak benar-benar bertransformasi secara ontologis seperti otak manusia.
Lebih jauh, kritik Martin Heidegger yang diartikulasikan oleh Hubert Dreyfus dalam ‘What Computers Can’t Do’ (1972) menyoroti bahwa kecerdasan tidak dapat dipahami secara memadai jika dipisahkan dari keterlibatan tubuh dalam dunia nyata. Kecerdasan manusia bersifat ‘embodied’ dan ‘embedded’: tertanam dalam tubuh yang merasakan dan dalam dunia yang dihayati.
Kita memahami apa itu “meja” bukan hanya karena kita memiliki definisi leksikal dalam benak, melainkan karena kita telah menyentuhnya, meletakkan benda di atasnya, bekerja di sekelilingnya, dan makan bersama keluarga di sana. Pemahaman ini tidak bersifat abstrak dan simbolik, melainkan eksistensial dan fenomenologis. Di sinilah letak perbedaan mendasar: robot paling canggih sekalipun tidak memiliki tubuh yang merasakan atau dunia yang dihayati secara autentik. Mereka mungkin tahu banyak hal, tetapi tidak mengalami apa-apa.
Mitra atau Pengganti
Paparan ini bukanlah seruan untuk menolak kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), melainkan ajakan untuk menata ulang lensa kita dalam memandangnya. Alih-alih memperlakukan AI sebagai duplikasi dari kesadaran manusia, kita diajak memahami bahwa mesin-mesin ini hanyalah perpanjangan dari daya pikir kita—alat bantu kognitif yang memperluas kemampuan, bukan menggantikannya. Temuan dari filsafat kesadaran, neurosains, dan linguistik kognitif justru menegaskan satu hal mendasar: AI dapat meniru bahasa dan mengenali pola, tetapi ia tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang, tak pernah bergulat dengan dilema moral, dan tak akan pernah mengalami kelegaan setelah memaafkan.
Dalam lanskap ini, etika menjadi fondasi yang tak boleh ditangguhkan—etika yang jernih memandang keterbatasan ontologis mesin. Mesin mampu mengolah probabilitas, meniru gaya tutur manusia, dan menyusun narasi yang memikat. Namun mereka tidak hidup, tidak merasa, tidak menghayati. Menyamakan kecanggihan teknis dengan kesadaran adalah penyederhanaan yang tak hanya menyesatkan secara filosofis, tapi juga rawan memicu kebutaan sosial terhadap apa yang hakiki dalam manusia.
Barangkali, pendekatan seperti komputasi neuromorfik—yang meniru arsitektur otak manusia—menawarkan arah baru. Bukan untuk menyalin kesadaran, tetapi untuk memahami bagaimana sistem yang adaptif dan dinamis dapat mendekati cara kerja manusiawi. Bahkan Alan Turing, dalam tulisannya yang klasik ‘Computing Machinery and Intelligence’ (1950), telah menyadari keterputusan antara meniru dan menjadi. Sebuah mesin bisa saja menjawab seolah-olah sadar, tapi bukan berarti ia benar-benar sadar.
Ironisnya, semakin canggih mesin yang kita bangun, semakin terang pula batas yang membedakan kita darinya. Bukannya menciptakan tiruan sempurna dari manusia, AI justru memantulkan kembali apa yang tak tergantikan dari diri kita: kapasitas untuk mencipta makna dari luka, melihat keindahan dalam kefanaan, atau menyusun puisi dari kehampaan. Kecerdasan buatan yang gagal memahami senja atau getirnya rindu adalah pengingat bahwa esensi manusia tidak terletak pada algoritma, melainkan pada getar yang tak bisa dijelaskan oleh rumus—pada kesadaran yang hidup, rapuh, dan penuh imajinasi.
T.S. Eliot menulis, “Kita tak akan berhenti menjelajah, dan semua penjelajahan kita akan berakhir pada tempat kita mulai, dan mengenalnya untuk pertama kali.” Demikian pula pencarian kita dalam menciptakan mesin yang berpikir—pada akhirnya membawa kita kembali ke pertanyaan-pertanyaan paling purba: Apa itu kesadaran? Dapatkah makna direduksi menjadi simbol? Dan di manakah batas antara simulasi dan pemahaman sejati?
Refleksi ini menyingkap sebuah paradoks yang tak terhindarkan. Semakin kita memahami mekanisme otak, semakin kentara bahwa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan semata-mata lewat rangkaian logika atau algoritma. Pandangan reduksionis yang melihat otak sebagai “mesin biologis” memang menggoda, tetapi gagal menangkap getar batin yang membuat manusia menangis di hadapan lukisan, atau terdiam saat membaca puisi. Eksperimen pikiran seperti ‘Chinese Room’ milik Searle atau persoalan ‘qualia’ ala Thomas Nagel bukanlah sekadar permainan akademik—mereka adalah cermin yang menunjukkan betapa sempitnya paradigma komputasional dalam menjangkau kedalaman pengalaman manusia.
Barangkali, pelajaran terbesar yang bisa kita petik bukanlah bagaimana membuat mesin menjadi manusia, tetapi bagaimana menjaga agar manusia tidak kehilangan dirinya di tengah deru mesin. Kita bukan sekadar kalkulasi dan data, melainkan simpul dari sejarah panjang evolusi, simpang siur emosi, dan pengalaman eksistensial yang tak bisa dipecah menjadi barisan kode.
Seperti yang dikatakan Rainer Maria Rilke, hidup bukan tentang menemukan jawaban, melainkan tentang keberanian untuk tinggal dalam pertanyaan—untuk merangkul misteri yang membuat kita manusiawi. Dan mungkin, di era yang kian sarat kecerdasan buatan, justru dalam ketidakmampuan mesin memahami nuansa sonata Mozart atau kegetiran dalam puisi Chairil Anwar, kita kembali menemukan diri kita sendiri. Keajaiban bukan terletak pada kemampuan mesin untuk meniru kita, tetapi pada kesadaran kita untuk tetap menjadi manusia. Dan dalam kesadaran itulah, segala penjelajahan kita berakhir—di tempat yang sama, namun kali ini, dikenali untuk pertama kali.