STISNU

Dedi Mulyadi dan Bahaya Politik Algoritma

Oleh Abdul Hakim, Pengajar Perbandingan Politik STISNU Nusantara Tangerang

Di era digital yang didominasi oleh media sosial, politik algoritma telah merevolusi cara masyarakat berinteraksi, berkomunikasi, bahkan memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Fenomena ini tampak jelas dalam sosok Dedi Mulyadi, yang secara cerdas memanfaatkan mekanisme algoritma untuk membangun citra personal sekaligus menggalang dukungan politik. Kebijakan-kebijakan kontroversial yang diusungnya, seperti sterilisasi wajib bagi penerima bantuan sosial dan pelatihan militer bagi anak-anak yang dianggap ‘nakal’, tidak hanya memicu kegaduhan politik, tetapi juga merangsang respons emosional yang tinggi dari publik. Strategi ini terbukti efektif dalam menarik perhatian dan meningkatkan visibilitasnya di ruang digital yang sangat kompetitif.

Di balik angka kepuasan publik yang dirilis Indikator Politik Indonesia—menunjukkan 95 persen warga puas terhadap kinerja Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat—tersimpan dinamika yang lebih kompleks. Dominasi narasi visual dan performa digital menjadikan kebijakan tak lagi dinilai dari substansinya, melainkan dari seberapa mudah ia dikemas menjadi konten viral. Tingginya kepuasan publik bisa jadi lebih mencerminkan keberhasilan manipulasi simbolik dan strategi komunikasi populis ketimbang pencapaian kebijakan yang berdampak nyata.

Survei kepuasan tersebut tampaknya lebih mencerminkan keberhasilan dalam membangun narasi populis ketimbang dampak nyata dari kebijakan yang dijalankan. Ruang deliberatif yang idealnya dihuni oleh diskusi berbasis data dan argumentasi rasional perlahan tergantikan oleh pertunjukan emosional yang sengaja dikemas untuk memenuhi selera algoritma media sosial. Kondisi ini menunjukkan bagaimana algoritma tidak hanya membentuk persepsi publik, tetapi juga berpotensi mereduksi kompleksitas masalah politik menjadi tontonan viral yang semu, sehingga menimbulkan tantangan serius bagi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat.

Polarisasi dan Efek Viral Kebijakan Kontroversial

Fenomena polarisasi yang diperkuat oleh konten kontroversial dalam era algoritma media sosial menjadi semakin nyata dalam konteks kebijakan-kebijakan populis seperti yang diambil oleh Dedi. Kebijakan ekstrem—seperti sterilisasi laki-laki miskin penerima bantuan sosial secara wajib atau pelatihan militer bagi anak-anak yang dianggap ‘nakal’—secara sengaja dirancang bukan hanya untuk menyelesaikan masalah sosial, tetapi juga untuk menciptakan efek viral emosional.

Data percakapan daring menunjukkan bahwa kebijakan semacam ini memicu reaksi emosional yang tinggi: kemarahan sebesar 25% dan muak sebesar 27%, sebuah indikator kuat bahwa kebijakan tersebut telah menjadi alat produksi kegaduhan politik yang efektif di ranah digital. Dalam kerangka kerja algoritmik media sosial, respons-respons emosional semacam ini justru menjadi bahan bakar utama bagi visibilitas konten. Algoritma bekerja dengan prinsip keterlibatan (engagement), bukan kebenaran atau keadilan; konten yang menimbulkan kemarahan lebih mudah disebarluaskan ketimbang diskusi mendalam dan kritis.

Ironisnya, di balik visibilitas tinggi yang diberikan kepada tindakan-tindakan teatrikal seperti menangis di lokasi kerusakan lingkungan, perdebatan substantif mengenai arah kebijakan dan dampaknya terhadap struktur sosial justru terpinggirkan. Media sosial menciptakan ilusi keterbukaan, namun sesungguhnya mempersempit ruang deliberasi dengan menciptakan gelembung informasi (filter bubbles). Dalam gelembung-gelembung ini, para pendukung dan penentang Dedi cenderung terisolasi dari argumen satu sama lain, memperkuat bias konfirmasi dan memperdalam jurang ideologis.

Akibatnya, kebijakan publik menjadi arena pertarungan emosi, bukan arena rasionalitas. Polarisasi ini bukanlah gejala sampingan dari digitalisasi politik, melainkan produk dari insentif struktural yang tertanam dalam logika teknososial platform digital itu sendiri. Dalam lanskap seperti ini, yang terpinggirkan bukan hanya suara minoritas atau kelompok rentan, melainkan juga kemampuan kolektif masyarakat untuk berpikir bersama secara rasional dan etis.

Dalam konteks politik digital kontemporer, strategi komunikasi yang diadopsi oleh figur seperti Dedi mencerminkan pergeseran dari substansi kebijakan menuju simbolisme politik yang dibalut dalam kemasan viralitas. Ketika isu-isu kompleks seperti pengentasan kemiskinan disederhanakan menjadi momen-momen spektakuler—misalnya dengan menawarkan insentif tunai bagi peserta vasektomi—terjadi proses reduksi makna yang serius.

Fenomena ini biasa disebut dengan ‘simulacra’, di mana representasi menggantikan realitas. Kebijakan tidak lagi dinilai berdasarkan dampak strukturalnya terhadap kesejahteraan rakyat, melainkan berdasarkan seberapa ‘layak klik’ atau seberapa luas penyebarannya di media sosial. Dalam ekosistem digital yang diatur oleh algoritma, penyederhanaan kebijakan menjadi semacam ‘currency’ politik, di mana kompleksitas teknokratik dikorbankan demi performa politik yang segera dan emosional.

Krisis Literasi Kebijakan dan Ruang Publik Digital

Konsekuensinya adalah terkikisnya literasi kebijakan publik di kalangan masyarakat. Diskursus kebijakan yang seharusnya berbasis data, argumentasi, dan konsensus demokratis tergantikan oleh narasi tunggal yang mudah dikonsumsi namun sering kali menyesatkan. Dalam kerangka ruang publik (öffentliche Sphäre), media sosial seharusnya menjadi ruang deliberatif di mana warga negara dapat berdiskusi secara rasional tentang kepentingan bersama. Namun yang terjadi justru sebaliknya: ruang publik digital dibajak oleh narasi instan yang diproduksi oleh elite populis dengan memanfaatkan algoritma sebagai perpanjangan tangan kekuasaan simbolik.

Lebih jauh, kecenderungan Dedi untuk melakukan pengumuman langsung melalui kanal pribadinya di media sosial—seperti larangan mendadak terhadap pariwisata di kawasan Puncak tanpa koordinasi dengan lembaga resmi—menunjukkan gejala erosi kepercayaan terhadap institusi formal. Tindakan ini bukan hanya mereduksi fungsi legislatif daerah seperti DPRD, tetapi juga membingungkan publik terkait prosedur legal dan kerangka kerja institusional yang seharusnya menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan. Dalam perspektif teori institusional, ini mencerminkan pergeseran dari tata kelola berbasis norma dan prosedur menuju tata kelola yang bersandar pada ‘charismatic authority’ ala Weber, di mana legitimasi diukur dari daya tarik personal dan kemampuan mengendalikan narasi publik, bukan dari kesesuaian dengan sistem hukum dan mekanisme demokratis.

Dalam situasi semacam ini, demokrasi tidak hanya mengalami krisis substansi, tetapi juga krisis representasi dan kepercayaan. Yang dipertaruhkan bukan sekadar efektivitas kebijakan, melainkan masa depan institusi demokrasi itu sendiri. Jika publik terus dimobilisasi melalui simbolisme dangkal tanpa pemahaman kritis terhadap kebijakan, maka proses demokratis akan terjebak dalam pusaran disinformasi, populisme, dan delegitimasi kelembagaan yang berkepanjangan.

Fenomena politik konten yang dimotori oleh tokoh seperti Dedi mencerminkan transformasi relasi antara warga dan kekuasaan dalam era digital, di mana citra menjadi komoditas utama dalam pasar politik algoritmik. Dengan mengenakan pakaian adat Sunda, membersihkan sungai, atau tampil akrab dengan masyarakat kecil, Dedi membangun narasi visual sebagai ‘man of the people’—sebuah strategi yang sangat selaras dengan preferensi algoritma media sosial terhadap konten yang bersifat personal, emosional, dan mudah diidentifikasi.

Tindakan ini bisa dibaca sebagai konversi ‘cultural capital’ menjadi ‘political capital’; simbol-simbol budaya lokal bukan lagi sekadar ekspresi identitas, melainkan aset elektoral yang dikapitalisasi untuk memproduksi daya tarik populis. Tingkat kepuasan publik yang mencapai 95 persen bukan hanya cermin dukungan, tetapi juga hasil dari manipulasi simbolik yang terdistribusi secara sistematis melalui saluran algoritmik yang tidak netral.

Namun, strategi ini menyamarkan kenyataan bahwa apa yang disebut sebagai ‘partisipasi publik’ dalam media sosial sering kali bersifat semu. Interaksi dalam bentuk ‘likes, komentar, dan share’ bukanlah bentuk partisipasi deliberatif, melainkan konsumsi simbolik yang menciptakan ilusi keterlibatan. Dalam perspektif Jodi Dean tentang ‘communicative capitalism’, komunikasi digital menjadi sebuah aktivitas yang menumpuk data dan impresi tanpa menjamin terjadinya transformasi politik atau akuntabilitas institusional. Dialog berubah menjadi monolog yang dikemas dalam format interaktif, tetapi tetap satu arah dan tidak membuka ruang bagi kritik struktural atau mekanisme umpan balik yang otentik.

Kondisi ini memperlihatkan bagaimana media sosial mengaburkan batas antara komunikasi dan kontrol. Apa yang terlihat sebagai keterbukaan justru berfungsi sebagai teknik manajemen persepsi yang memperkuat posisi elite populis, sembari melumpuhkan potensi masyarakat untuk mengorganisasi aspirasi secara kolektif dan institusional. Dengan mengaburkan substansi kebijakan dalam performa budaya yang dipersonalisasi, Dedi dan politisi sejenis berhasil mengalihkan wacana publik dari soal keadilan struktural menjadi sekadar persoalan citra dan kedekatan semu.

Dengan demikian, politik konten dalam era digital bukanlah sekadar gaya kampanye, melainkan strategi hegemonik baru yang mengatur cara warga berpartisipasi, merasa, dan membayangkan demokrasi. Jika tidak disadari secara kritis, strategi ini dapat menggantikan ruang deliberatif publik dengan teater algoritmik yang memanipulasi emosi rakyat, sambil memperkuat otoritas yang tak lagi terikat pada institusi, melainkan pada persona.

Dalam lanskap pemerintahan yang semakin dipengaruhi oleh logika digital, prioritas kebijakan kerap dibentuk bukan oleh kebutuhan struktural masyarakat, melainkan oleh potensi viralitas yang ditentukan algoritma. Fenomena ini terlihat jelas dalam pendekatan Dedi yang lebih menekankan pada aksi-aksi reaktif dan teatrikal seperti sidak mendadak, razia malam, atau inspeksi publik, yang dengan cepat tersebar luas di media sosial karena nilai sensasionalnya.

Pendekatan semacam ini mencerminkan praktik ‘governmentality’ yang tidak lagi bertumpu pada rasionalitas kebijakan jangka panjang, melainkan pada logika visualisasi kekuasaan yang terus-menerus mempertontonkan ‘kehadiran’ negara dalam bentuk intervensi langsung dan karismatik. Sayangnya, di balik performa itu, upaya memperkuat institusi dan melakukan reformasi sistemik—yang lebih membosankan secara algoritmik—justru terpinggirkan, memperlihatkan gejala pembusukan kelembagaan yang tidak tertangani.

Ketimpangan ini diperparah oleh bias algoritmik dalam menentukan isu-isu mana yang layak diekspos. Alih-alih mengangkat persoalan ketimpangan struktural seperti pengangguran sistemik, ketidakadilan akses pendidikan, atau eksploitasi buruh informal, konten yang mendapat panggung justru yang menargetkan ‘musuh-musuh yang rentan’ seperti anak muda yang dianggap kecanduan game atau ayah miskin yang tidak menafkahi. Strategi ini dapat dilihat sebagai bentuk ‘moral underclass discourse’, di mana kelas bawah tidak hanya dimiskinkan secara ekonomi, tetapi juga dikonstruksi sebagai entitas bermasalah secara moral yang perlu ‘ditertibkan.’ Kebijakan yang muncul dari narasi ini bukanlah upaya pemulihan hak, tetapi mekanisme disiplin yang menyamarkan bias kelas di balik retorika kepedulian.

Akibatnya, suara-suara dari kelompok marjinal semakin tak terdengar dalam arus komunikasi digital yang dikendalikan oleh algoritma. Representasi mereka direduksi menjadi objek intervensi, bukan subjek dalam perumusan kebijakan. Ini menciptakan paradoks dalam demokrasi digital: teknologi yang seharusnya memperluas inklusi politik justru memperkuat eksklusi simbolik, di mana yang tampil di permukaan adalah narasi dominan dari kekuasaan populis, sementara struktur ketidakadilan yang lebih dalam tetap tidak tersentuh. Dengan kata lain, algoritma membentuk lanskap kebijakan yang reaktif, bukan transformatif; spektakuler, bukan solusi.

Untuk menghindari jebakan ini, perlu upaya kolektif untuk mendesak reformulasi prinsip-prinsip etika dalam pengelolaan informasi digital, serta mengembalikan orientasi kebijakan publik pada pemecahan akar persoalan, bukan sekadar pemuasan kebutuhan visibilitas. Jika tidak, demokrasi akan semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial, dan menjadi panggung teatrikal algoritmik yang hanya melayani kepentingan kekuasaan dalam format yang dapat ditonton, disukai, dan dibagikan.

Panggung Teatrikal Algoritmik

Fenomena ‘Gubernur Konten’ yang melekat pada sosok Dedi Mulyadi menandai pergeseran mendasar dalam cara demokrasi dijalankan di era digital. Strategi politiknya bukan sekadar adaptasi terhadap media sosial, melainkan eksploitasi menyeluruh terhadap logika algoritmik yang memprioritaskan visibilitas, emosi, dan interaksi semu. Dalam kerangka pemikiran Guy Debord tentang masyarakat tontonan (society of the spectacle), Dedi merepresentasikan bagaimana kekuasaan politik tidak lagi dijalankan melalui proses deliberatif dan institusional, melainkan melalui performa yang dikemas untuk dikonsumsi secara masif.

Dalam logika ini, kebijakan tidak diukur berdasarkan dampaknya terhadap keadilan sosial, melainkan berdasarkan seberapa viral ia menjadi. Akibatnya, nilai-nilai demokrasi seperti partisipasi sejati, akuntabilitas institusional, dan kesetaraan substantif terkikis, tergantikan oleh metrik-metrik performatif seperti jumlah ‘likes, views, dan shares’.

Berbagai risiko yang muncul—mulai dari polarisasi masyarakat akibat konten yang memecah belah, penyederhanaan kebijakan menjadi slogan viral, hingga erosi kepercayaan terhadap institusi publik karena jalur formal dibypass—tidak dapat diredam hanya dengan pendekatan normatif. Mitigasi membutuhkan respons struktural yang menggabungkan regulasi teknologi, reformasi budaya birokrasi, dan penguatan kapasitas masyarakat sipil.

Mandat forum multi-pemangku kepentingan, misalnya, dapat menjadi ruang penyeimbang antara logika konten dan kepentingan publik, tetapi tentu menghadapi resistensi dari pemimpin populis yang melihat deliberasi sebagai hambatan naratif. Demikian pula, upaya membentuk badan independen pemeriksa fakta seringkali terbentur pada minimnya sumber daya dan tingginya arus informasi yang diproduksi setiap detik.

Namun, solusi yang paling mendasar dan mendesak adalah pembuatan regulasi yang menuntut transparansi algoritma platform digital—terutama dalam hal bagaimana konten diprioritaskan, disebarkan, dan dikomodifikasi. Tanpa pembedahan terhadap logika teknologis yang membentuk ruang publik digital, demokrasi akan terus tergiring menjadi pertunjukan viral belaka, di mana keterlibatan rakyat dimanipulasi melalui ilusi partisipasi, dan substansi kebijakan dikorbankan demi impresi semu. Bersamaan dengan itu, program literasi media digital yang kritis dan kontekstual perlu diperluas agar publik tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga warga negara yang mampu membaca dan menilai strategi populisme digital secara reflektif.

Demokrasi vs. Logika Pasar Atensi

Jika tidak ada intervensi serius untuk merestorasi prinsip etika dalam tata kelola digital, Indonesia akan menghadapi demokrasi yang terdegradasi menjadi panggung algoritmik—sebuah sistem politik yang semakin jauh dari prinsip deliberatif dan semakin tunduk pada logika pasar atensi. Dalam konteks ini, tantangan terbesar bukan hanya pada figur seperti Dedi, tetapi pada ekosistem politik dan digital yang memungkinkan strategi semacam ini tumbuh dan dihargai. Demokrasi yang baik seharusnya tidak dinilai dari seberapa banyak ditonton, tetapi seberapa besar ia mampu mentransformasikan realitas sosial secara adil dan berkelanjutan.

Politik algoritma telah menggeser demokrasi dari arena pertukaran gagasan menjadi panggung kompetisi emosi, di mana keberhasilan ditentukan bukan oleh substansi kebijakan, melainkan oleh kemampuan memancing keterlibatan publik. Figur seperti Dedi Mulyadi muncul sebagai produk dari ekosistem digital ini, memanfaatkan narasi populis dan kebijakan kontroversial untuk membangun citra melalui konten viral. Survei kepuasan yang tinggi sering kali menutupi ilusi partisipasi, karena yang tercermin lebih banyak adalah efek penguatan algoritma daripada evaluasi kebijakan yang mendalam.

Di balik kemudahan interaksi digital tersembunyi risiko besar: polarisasi yang menguat, fragmentasi ruang publik, dan penyusutan ruang deliberatif. Ketika algoritma mendikte apa yang penting, demokrasi terancam menjadi pertunjukan semata—ditentukan oleh klik dan share, bukan oleh keadilan atau rasionalitas. Menghadapinya perlu kesadaran kritis, regulasi transparan terhadap platform digital, dan penguatan literasi media. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi permainan citra, sementara esensi partisipasi dan keadilan semakin terpinggirkan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses