Gus Dur dan Pembelaan Minoritas
Oleh : Hamdan Suhaemi
Artikel, Stisnu, 15 Desember 2023
Saya, mengenal KH.Abdurahman Wahid atau akrab di panggil Gus Dur itu sejak 1995, waktu itu pondok pesantren dimana saya belajar sering berlangganan buletin bulanan Pesantren. Mungkin diterbitkan oleh PBNU. dari literatur itu banyak informasi terkait figur beliau.
Tahun 1997 untuk pertama kalinya saya bisa mencium tangan beliau saat sowan ke alm. Mbah Dimyathi di Cidahu Cadasari Pandeglang. Beruntung saya santri Cidahu yang pertama mecium tangan beliau dan dapat membantu memapahnya ketika hendak naik ke Majlis Seng, majlisnya Alim Allamah Syaikh Dimyathi bin Muhammad Amin atau Abuya Dimyathi.
Gus Dur dan Perspektif Masa Depan Islam
Dalam bukunya ( Islamku Islam Anda Islam Kita) Gus Dur menjelaskan bahwa banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam. Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin.
Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islam ku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada. Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islam ku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi.
Dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islam ku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?
Gus Dur dan Sikap Pembelaan
Pandangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan internasional dari Georgetown University, Washington, tentang Gus Dur. Berikut pandangan Esposito
tentang Gus Dur.
“ Wahid believes that contemporary Muslims are at critical crossroad. Two choices or paths confront them: to pursue a traditional, static legal-formalistic Islam or to reclaim and refashion a more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation that Islam should form the basis for the nation-state’s political or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern tradition, alien to Indonesia. Indonesian Muslims should apply a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a society where “a Muslim and a non-Muslim are the same”, a state in which religion and politics are separate. Rejecting legal-formalism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid has spent his life promoting the development of a multifaceted Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of responding to the realities of modern life. Its cornerstones are free will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars (ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran and tradition of the Prophet in light of “ever changing human stations.”
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak asasi manusia seperti hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim, hingga kasuskasus yang dipandangnya sebagai ketidakadilan sejumlah kelompok kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, misalnya, tanpa ragu membela Ulil Abshar-Abdala, intelektual muda NU yang juga tokoh muda “ Islam liberal ”. Seperti diketahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat.
Menanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduhan-tuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, majelis ulama dan seniman karena “ goyang ngebor ” nya yang dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum.
Seperti biasa, para tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Sementara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas nama menjaga kesucian seni dan “ moralitas ” seniman juga ikut menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan mengatakan bahwa “ goyang ngebor ” nya adalah bagian dari kreativitas dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa menerima alasannya.
Gus Dur Melindungi Minoritas
Mungkin tak ada ceritanya hingga hari ini orang – orang keturunan Tionghoa dapat merayakan Imlek, diperbolehkannya menghidupkan tradisi dan budaya China jika tidak ada peran Gus Dur.
Bukan itu saja kaum minoritas lainnya yang non- muslim oleh Gus Dur selalu dibela, seperti menugaskan Banser untuk pengamanan perayaan keagamaanya. Saat hari Natal tiba, Gus Dur instruksikan anggota Banser untuk menjaga Gereja. Pandangan Gus Dur terkait itu bahwa yang dijaga sebenarnya keutuhan NKRI sebagai rumah besar bangsa Indonesia. Kerap sikap Gus Dur soal ini ditanggapi keras oleh sebagaian umat Islam di luar NU.
Tahun 2008 silam, ketika Ahmadiyah menjadi sasaran kekesalan sebagian umat Islam menjadi bulan-bulanan muslim garis keras. Mereka menolak Ahmadiyah termasuk dalam agama Islam. Lagi-lagi Gus Dur hadir untuk melidungi dan ikut menyelasaikan persoalan Ahmadiyah pasca peristiwa penutupan markas Ahmadiyah di Bogor.
Figuritas seorang Gus Dur yang enigmatik itu telah menuai tafsir yang macam-macam terhadapnya. Ada yang bilang murtad, kiai sesat dan pro Yahudi. Namun di mata Nahdlyyin Gus Dur adalah figur ulama yang mewarisi kharisma sang kakek, muassis NU.Soal tudingan atas Gus Dur, santri dan para intelektual NU tidak surut sedikit pun untuk kemudian mempelajari dan memahami pemikiran Gus Dur yang humanis dan pemikirannya yang universal, idenya tentang ” kurikulum universal ” menjadi penanda bahwa Gus Dur sangat berharap agar santri selruh pesatren-pesantren binaan NU terus lakukan dinamisasi pemikiran ( fikrah ).
Penulis adalah intelektual pesantren yang memiliki wawasan keilmuan mendalam dan jelajah membaca luas. Beliau adalah Ketua Rijalul Ansor PW. GP. Ansor Banten.