STISNU

Dari Pesantren ke Perguruan Tinggi: Sejarah Spiritualitas Kelahiran STISNU Tangerang

Oleh:  H. Muhamad Qustulani

Di balik berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, terdapat jejak langkah panjang yang sarat dengan pengorbanan, spiritualitas, dan visi kebangsaan. Ia bukan sekadar kampus, melainkan pengejawantahan cita-cita para ulama pesantren untuk menjadikan ilmu sebagai cahaya peradaban bagi masyarakat Nahdliyin Banten.


Cikal Bakal dari Pesantren Assa’adah dan Al-Hasaniyah

Kisah ini bermula dari KH. Baijuri Khotib, pengasuh Pesantren Assa’adah li Nahdlatil Ulama, Gebang Priuk, Kota Tangerang. Pada awal 2010-an, beliau membuka kelas kemitraan STAINU Jakarta di lingkungan pesantrennya sebagai ikhtiar meningkatkan kualitas guru dan santri. Namun, pola kemitraan itu belum cukup kuat untuk membangun kemandirian keilmuan NU secara lokal.

Kiai Baijuri lalu berdiskusi dengan pamannya, KH. Mansur Hasan, pengasuh Pesantren Al-Hasaniyah, Rawalini, Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Bersama-sama, mereka memindahkan aktivitas perkuliahan ke Al-Hasaniyah. Pada tahun 2011, bertepatan dengan acara perpisahan Madrasah Al-Hasaniyah, dideklarasikanlah embrio kampus NU. Sekitar 50 mahasiswa mendaftar, termasuk banyak Bu Nyai muda sebagai peserta angkatan pertama perjuangan ini.

Namun semangat para kiai tak berhenti di situ. Gagasan besar mengemuka: Tangerang harus memiliki kampus NU sendiri. Maka dimulailah langkah baru dengan memindahkan kampus ke Cikokol, menempati eks Gedung Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang.

Pada momen penting tersebut, diadakan rapat di ruko PT. JML Tangerang City milik H. Dasep Sediana, dihadiri pengurus NU dari Kabupaten dan Kota Tangerang. Semua mengapresiasi rencana itu, tetapi pesimistis karena kendala fasilitas dan dana. Saat dimintai kesediaan, tak ada yang sanggup. Namun, dengan semangat anak muda, tanggung jawab teknis dan administratif akhirnya dipercayakan kepada kami. Hadir turut merumuskan sahabat sahabat Himasal Lirboyo Jabodetabek yang mereka kebanyakan menjadi dosen di awal pendirian kampus ketika masih di Teluknaga.

Di bawah komando KH. Edi Djunaedi Nawawi, permohonan penggunaan gedung diajukan kepada Bupati H. Ismet Iskandar. Bupati merespons positif bahkan mengusulkan nama yayasan: Benteng Nusantara, yang kemudian dimaknai sebagai singkatan dari “Benteng NU Santri Tangerang Raya” — mengandung harapan besar agar santri memiliki pendidikan tinggi yang maju dan berakar historis.

Pengurus yayasan dibentuk dari jajaran NU saat itu. Namun saat proses pengajuan izin operasional, terungkap bahwa yayasan tersebut belum tercatat di Kemenkumham, bahkan masih dalam bentuk draft. Izin STISNU pun keluar saat yayasan masih berupa nama semata. Semuanya berlangsung dengan modal kepercayaan dan spiritualitas, serta barokah karomah kebesaran Nahdlatul Ulama. Semua konsisten berjuang untuk berkhidmat menyiarkan Nahdlatul Ulama di Tangerang di mana visi besarnya akan lahir kader kader NU yang menjadi penggerak struktural dan masyarakat.


Langkah Awal Penuh Debu dan Harapan

Gedung yang kami tempati saat itu jauh dari kata layak — penuh debu, gelap, dan belum terawat. Namun justru di sanalah mental baja dan keteguhan diuji. Dibentuklah tim penggerak yang dipimpin oleh saya sendiri, H. Muhamad Qustulani (kini Dr. H. Muhamad Qustulani, MA.Hum.), yang diberi amanah oleh para kiai untuk memimpin transformasi ini.

Ketua STAINU Jakarta kala itu, KH. Mujib Qolyubi, sempat menyarankan agar cukup mendirikan STAI Al-Hasaniyah. Namun dirinya menolak dengan halus, karena para kiai ingin adanya kampus NU yang menjadi laboratorium perbaikan NU secara organisatoris. Pesantren Al-Hasaniyah pun legowo, tetap konsisten dengan semangat ke-NU-an demi syiar yang lebih luas.

Kampus ini tidak dibangun dengan dana besar, melainkan dengan tekad kuat dan gotong royong. Segala sesuatu diperbaiki secara bertahap. Dalam suatu kesempatan, Kiai Mujib pernah berkata:
“Secara administratif kalian mungkin bermasalah, tapi dengan semangat dan komunikasi, pasti bisa.”
Kalimat ini menjadi suluh dalam gelap kami.


Spiritualitas Gerakan: Belajar dari Semesta dan Iblis

Sejak tahun 2013, hadir dua tokoh ruhani yang memberi arah perjuangan: KH. Ali Zen dan Gus Umar Fayumi. Keduanya tidak hanya mengajarkan zikir dan hikmah, tetapi juga mengajak kami membaca semesta, memahami medan, dan menyiapkan wadah perjuangan.

Salah satu pelajaran inspiratif dari Gus Umar adalah tentang “manajemen iblis.” Iblis memang musuh Tuhan, tetapi ia mampu mempengaruhi manusia tanpa modal besar — hanya dengan strategi. Maka kami belajar bukan menjadi iblis, tetapi meniru efektivitas strateginya sebagai inspirasi manajemen perjuangan.

Nasihat Gus Umar yang diambil dari al-Hikam,
“wurūd al-imdād bi ḥasabi al-isti‘dād” — bantuan Ilahi akan datang sesuai kesiapan wadah — menjadi filosofi kerja kampus ini. Maka yang utama bukan sekadar proposal, tapi istidâd: kesiapan spiritual dan mental.

Dukungan juga mengalir dari Pak Heri Purwanto dalam bentuk logistik, pelayanan, dan operasional. Bersama sahabat-sahabat seperti H. Fahmi Irfani, H. Drajat Muhtadi, Mas Afifi, Mas Satria, Mas Aik Iksan, Jakaria, dan Handi Saepullah, kami bersama menyiapkan dan membangun komunikasi strategis sehingga dalam satu momentum memaksa bertemu Prof. Dr. Nur Ahmad,  kini Ketua BAZNAS RI untuk mengawal pendirian STISNU, dengan sedikit merengek akhirnya divisitasi studi kelayakan. Dengan pendekatan spiritual dan diplomasi, izin resmi STISNU dengan dua program studi Hukum Keluarga Islam, dan Hukum Eknomi Syariah akhirnya terbit pada 05 Mei 2014. Di mulai resmi rekrutrutmen, dari dahulu tercatat sebagai mahasiswa STAINU Jakarta kini resmi menjadi mahasiswa STISNU Nusantara Tangerang. Dari jumlah mahasiswa 15 orang dengan 2 program studi, namun yang lulusnya hanya 4 orang, kini di STISNU sudah memiliki 783 mahasiswa dan bertambah program studi, yaitu Manajemen Pendidikan Islam, Manajemen Bisnis Syariah, dan Politik Islam.


Trilogi STISNU: Spiritualitas, Kualitas, dan Kearifan Lokal

Kini, setelah 11 tahun perjuangan, STISNU telah tumbuh sebagai perguruan tinggi profesional, modern, dan membumi. Namun fondasi spiritualnya tak pernah luntur. Kampus ini menjadikan Trilogi STISNU sebagai identitas:

  1. Spirituality – Dilandasi zikir, niat lillah, dan keyakinan bahwa ilmu adalah jalan menuju Tuhan.
  2. Quality – Terus meningkatkan mutu dosen, kurikulum, dan layanan akademik secara profesional.
  3. Local Wisdom – Berakar kuat di bumi Tangerang, menjunjung tradisi pesantren, dan menyatu dengan masyarakat.

STISNU meyakini bahwa untuk menjadi unggul dan mendunia tidak harus tercerabut dari akar. Justru kekuatan kampus NU ada pada akar, ruh, dan nilai. Ketika banyak kampus sibuk bicara teknologi dan kompetisi, STISNU membangun harmoni dan keberkahan.


Kini di bawah kepemimpinan KH. Bunyamin Hafis sebagai Ketua Yayasan yang baru, kami berharap geliat STISNU makin berkembang. Banyak ijtihad mencari pemodal belum membuahkan hasil, namun semangat khidmah dan perjuangan telah meneguhkan optimisme.

Kami bermimpi memiliki gedung bertingkat, dengan ruang bersama untuk PCNU dan fasilitas ke-NU-an lainnya. Mimpi di mana seluruh warga NU bisa kuliah di kampus NU, dan NU punya daya saing setara kampus besar lainnya.

Mungkin hari ini STISNU belum mampu berkontribusi besar ke struktur NU. Tetapi kami yakin, waktunya akan tiba — saat STISNU menjadi motor penggerak kader-kader NU masa depan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses