STISNU

Dari Demokrasi ke Oligarki: Ketika Pengusaha dan Elit Mengendalikan Negara

A.Pendahuluan

Secara teoritis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), yang berarti “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Lincoln, 1863). Demokrasi menjanjikan partisipasi rakyat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses politik, terutama dalam menentukan arah kebijakan negara melalui pemilihan umum yang bebas dan adil (Robert A. Dahl, On Democracy, 1998). Dalam sistem ini, kekuasaan politik berada di tangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan negara hadir untuk memastikan keadilan sosial, kebebasan individu, dan kesetaraan di depan hukum.

Namun, dalam praktiknya, idealisme demokrasi tersebut sering kali mengalami distorsi. C. Wright Mills dalam bukunya The Power Elite (1956) menggambarkan bahwa di balik mekanisme demokrasi formal, terdapat sekelompok kecil elite yang mendominasi dan mengontrol keputusan-keputusan penting negara. Elite ini terdiri dari pengusaha besar, pejabat tinggi, dan militer yang saling terhubung dalam jaringan kekuasaan. Mills menegaskan bahwa sesungguhnya rakyat hanya menjadi penonton dalam pertunjukan demokrasi, sementara keputusan politik dan ekonomi ditentukan oleh para elite tersebut.

Fenomena ini kemudian dikenal sebagai “oligarki”, yaitu suatu kondisi ketika kekuasaan politik dan ekonomi terpusat di tangan segelintir orang atau kelompok yang saling terkoneksi dan saling menguntungkan (Jeffrey A. Winters, Oligarchy, 2011). Dalam definisi klasiknya, Aristoteles dalam Politics juga telah mengingatkan bahwa bentuk penyimpangan dari sistem aristokrasi adalah oligarki, yakni ketika kekuasaan digunakan untuk melayani kepentingan kelompok kaya, bukan untuk kebaikan bersama.

Menurut Winters (2011), oligarki modern tidak lagi berbentuk kerajaan atau bangsawan, tetapi didominasi oleh “oligark ekonomi”—sekelompok kecil pemilik modal besar yang mampu mengendalikan negara melalui kontrol terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, demokrasi hanya menjadi topeng yang menutupi dominasi ekonomi-politik dari elite kaya.

Fenomena ini semakin nyata di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak era reformasi, sistem demokrasi elektoral di Indonesia memang membuka ruang partisipasi lebih luas. Namun, di sisi lain, biaya politik yang sangat tinggi justru memperbesar peran para pemodal dan pengusaha besar dalam menentukan peta politik nasional dan daerah. Hal ini ditegaskan oleh Vedi R. Hadiz dalam bukunya Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia (2010), bahwa “demokrasi di Indonesia justru membuka jalan bagi terbentuknya oligarki baru yang bersandar pada kekuatan modal dan jaringan elite politik lama”.

Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi rakyat kini justru berubah menjadi panggung para pemilik modal. Partai politik tidak lagi menjadi wadah artikulasi kepentingan rakyat, melainkan berubah menjadi kendaraan bisnis dan alat bagi para oligark untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka. Pemilu yang semestinya menjadi instrumen kedaulatan rakyat, justru sering kali hanya menjadi formalitas yang dikendalikan oleh uang dan kekuatan media.

Kondisi ini mendorong munculnya istilah “Demokrasi Oligarkis”, di mana substansi demokrasi hilang dan hanya menyisakan ritual-ritual prosedural belaka. Dalam situasi ini, kepentingan rakyat banyak kerap dikorbankan demi kelanggengan kekuasaan dan akumulasi kekayaan segelintir elite. Fenomena inilah yang menjadi tantangan utama bagi demokrasi modern, khususnya di negara-negara dengan fondasi ekonomi-politik yang masih rapuh.

B.Oligarki dalam Demokrasi
1.Definisi dan Latar Belakang
Secara etimologis, oligarki berasal dari bahasa Yunani oligos (sedikit) dan arkhein (memerintah), yang berarti pemerintahan oleh segelintir orang. Aristoteles dalam Politics mengklasifikasikan oligarki sebagai bentuk penyimpangan dari aristokrasi, karena dalam oligarki, kekuasaan justru digunakan untuk memenuhi kepentingan kelompok kaya, bukan demi kebaikan bersama.

Dalam konteks modern, Jeffrey A. Winters dalam Oligarchy (2011) mendefinisikan oligarki sebagai sistem di mana kekuasaan dan kontrol terhadap kebijakan publik serta sumber daya ekonomi dikendalikan oleh minoritas elite kaya, yang memiliki kemampuan besar dalam memengaruhi jalannya negara. Hal ini diperkuat oleh C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956), yang menyebut bahwa kekuasaan di negara modern sering kali tidak berada di tangan rakyat secara nyata, tetapi dimonopoli oleh kelompok elite yang memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan militer.

2.Proses Terjadinya Oligarki dalam Demokrasi

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan membuka ruang partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin dan kebijakan. Namun, dalam prakteknya, tingginya biaya politik dan lemahnya sistem pengawasan membuka peluang bagi kelompok-kelompok kaya untuk mendominasi proses demokrasi. Ini terjadi dalam bentuk:

  • Pembiayaan kampanye politik yang mahal, membuat partai dan kandidat bergantung pada konglomerat.
  • Intervensi dalam regulasi dan perundang-undangan agar berpihak pada kepentingan pemodal.
  • Penguasaan media dan informasi untuk mengarahkan opini publik sesuai agenda elite.

Fenomena ini dikenal sebagai “Demokrasi Oligarkis” atau “Captured Democracy”, di mana secara prosedural demokrasi berjalan, tetapi substansi kedaulatan rakyat telah direbut oleh elite yang mengendalikan kekuasaan dari balik layar.

C.Ciri-ciri Oligarki dalam Demokrasi

  1. Kekuasaan politik dan ekonomi terpusat di tangan sedikit orang atau kelompok
    Dalam negara yang terjerumus pada oligarki, kekuasaan nyata tidak lagi di tangan rakyat, melainkan di tangan sekelompok kecil pengusaha besar, keluarga politikus, dan elite militer atau birokrat. Mereka menguasai ekonomi nasional melalui kepemilikan sektor strategis seperti tambang, energi, perkebunan, dan perbankan. Jaringan mereka masuk hingga ke pusat kekuasaan negara. Contoh: Laporan Global Witness dan riset-riset ICW menunjukkan bahwa di Indonesia, 10 konglomerat terkaya memiliki pengaruh besar dalam sektor batu bara, sawit, dan properti, yang beririsan langsung dengan kebijakan pemerintah.
  2. Pemilu hanya menjadi formalitas, karena semua kandidat dibiayai dan dikendalikan oleh kelompok yang sama. Di mana pemilu memang tetap digelar, tetapi pilihan rakyat dibatasi hanya pada kandidat-kandidat yang dibiayai oleh oligark. Para calon, baik di tingkat daerah maupun nasional, membutuhkan biaya kampanye yang sangat besar. Akibatnya, siapapun yang menang tetap akan berhutang budi pada sponsor dan menjalankan agenda mereka.Jeffrey Winters (2011) menyebut ini sebagai “wealth defense”—kekayaan digunakan untuk membiayai politik demi mempertahankan dan memperluas kepentingan bisnis. Contoh: Fenomena mahar politik dalam Pilkada atau Pilpres, yang membuat kandidat dari kalangan rakyat kecil sulit bersaing.
  3. Kebijakan publik lebih banyak menguntungkan pemilik modal daripada rakyat. Dalam sistem oligarkis, negara lebih berperan sebagai “penjaga kepentingan bisnis” ketimbang pelindung rakyat. Kebijakan publik seperti regulasi pajak, perizinan usaha, bahkan undang-undang dibuat pro-bisnis dan pro-investor, sementara hak-hak rakyat terpinggirkan. Contoh Kasus:
  • UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan di Indonesia banyak dikritik karena menguntungkan pengusaha besar dengan dalih investasi, tetapi mengorbankan hak-hak buruh dan lingkungan.
  • Proyek-proyek infrastruktur besar sering kali berujung pada penggusuran rakyat kecil.

4. Hukum sering tajam ke bawah tapi tumpul ke atas

Hukum menjadi alat kontrol sosial yang tajam menghukum rakyat kecil, tetapi tumpul terhadap elite dan pengusaha besar. Penegakan hukum bersifat selektif dan transaksional, di mana para koruptor dan pelaku kejahatan dari kalangan elite bisa “mengatur” hukum untuk melindungi diri mereka. Contoh: Banyak kasus korupsi besar yang tidak tuntas, atau pelakunya mendapat hukuman ringan dan bisa bebas bersyarat, sementara rakyat kecil yang mencuri karena lapar dihukum berat.

5. Media massa dikuasai dan dipakai untuk membentuk opini sesuai kepentingan elite
Oligark modern tidak hanya menguasai ekonomi dan politik, tetapi juga media massa dan platform digital. Media digunakan sebagai alat untuk:

  • Menggiring opini publik,
  • Membangun citra politik elite,
  • Mengalihkan isu-isu penting,
  • Membunuh karakter lawan politik.

Chomsky dan Herman dalam Manufacturing Consent (1988) menyebut ini sebagai “manufaktur kesepakatan”, di mana media tidak lagi berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi, tetapi sebagai alat propaganda elite. Contoh: Kepemilikan media nasional di Indonesia banyak terafiliasi dengan partai politik atau pengusaha besar, sehingga pemberitaan sering kali tidak netral dan berpihak pada kepentingan tertentu.

 

D.Dampak Oligarki dalam Demokrasi
Demokrasi idealnya merupakan sistem pemerintahan yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi partisipasi rakyat dalam menentukan arah bangsa. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering kali disandera oleh segelintir elite politik dan pemilik modal besar. Fenomena ini dikenal sebagai oligarki, di mana kekuasaan politik dan ekonomi terpusat di tangan sedikit orang atau kelompok.
Oligarki dalam demokrasi modern menjelma dalam berbagai bentuk, mulai dari dominasi korporasi dalam kebijakan publik hingga lahirnya dinasti politik yang mengatur jalannya negara seperti kerajaan. Dampak yang ditimbulkan pun sangat nyata dan merugikan rakyat banyak.

  1. Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Meningkat. Di mana ketika kekuasaan politik berpadu dengan kekuatan ekonomi, maka kebijakan negara lebih banyak berpihak pada pemilik modal. Akses terhadap sumber daya, lahan, dan proyek-proyek strategis dikuasai oleh korporasi besar. Akibatnya, jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Rakyat kecil sulit menikmati hasil pembangunan karena lebih banyak dinikmati oleh kelompok elite.
  2. Kebijakan Publik Tidak Pro-Rakyat. Di mana oligarki menyebabkan kebijakan yang dihasilkan negara cenderung menguntungkan kelompok tertentu. Harga kebutuhan pokok mahal karena mekanisme pasar dikendalikan oleh kartel. Lahan-lahan rakyat tergerus oleh investasi besar, seperti tambang, perkebunan sawit, hingga properti skala raksasa. Rakyat kecil terpinggirkan di negerinya sendiri. Contoh nyata di Indonesia adalah penerbitan Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai lebih berpihak pada pengusaha besar ketimbang melindungi buruh dan masyarakat kecil. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, kebijakan ini justru membuka ruang eksploitasi lebih besar terhadap tenaga kerja dan sumber daya alam.
  3. Praktik Korupsi dan Suap Semakin Masif. Di mana keterlibatan pengusaha dalam membiayai politik melahirkan politik balas budi. Setelah terpilih, pejabat publik merasa memiliki “utang” yang harus dibayar dengan proyek atau kebijakan yang menguntungkan donatur. Korupsi, suap, dan jual-beli jabatan menjadi hal biasa. Penegakan hukum menjadi lemah karena para penegak hukum pun sering terjerat dalam lingkaran oligarki.
  4. Rakyat Kehilangan Kepercayaan pada Demokrasi. Ketika rakyat merasa suaranya tidak berpengaruh pada kebijakan negara, kepercayaan terhadap demokrasi mulai terkikis. Pemilu dianggap hanya ritual lima tahunan yang tidak membawa perubahan nyata bagi kehidupan mereka. Rakyat menjadi apatis dan enggan terlibat dalam proses politik.
  5. Lahirnya Dinasti Politik dan Kartel Politik. Oligarki juga melahirkan dinasti politik di mana kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dalam satu keluarga. Selain itu, partai-partai politik lebih berperan sebagai “perusahaan politik” yang sibuk mencari sponsor ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat. Koalisi partai dibentuk bukan atas dasar ideologi atau visi kebangsaan, melainkan kepentingan pragmatis semata.

E. Kesimpulan
Fenomena oligarki sangat nyata terlihat di Indonesia. Istilah “partai politik jadi perusahaan politik” sering muncul dalam diskusi publik. Partai lebih sibuk menjual tiket pencalonan atau “mahar politik” kepada siapa pun yang mampu membayar, ketimbang mencetak kader ideologis yang membela rakyat. Tak sedikit kepala daerah dan pejabat negara terjerat kasus korupsi karena harus membalas budi kepada para donatur politiknya. Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap pejabat negara kerap kali menunjukkan pola yang sama: jual-beli proyek, fee dari pengusaha, hingga rekayasa perizinan.

Kebijakan-kebijakan besar yang strategis, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi bukti nyata keberpihakan negara kepada kelompok pemodal besar. Buruh, petani, dan masyarakat adat semakin terpinggirkan, sementara korporasi besar menikmati kemudahan berusaha dan akses luas terhadap sumber daya alam. Oligarki dalam demokrasi adalah ironi besar. Demokrasi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat justru dikuasai oleh segelintir elite politik dan pengusaha. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara, sementara rakyat tetap terpinggirkan. Reformasi sistem politik dan penegakan hukum yang kuat menjadi jalan satu-satunya untuk merebut kembali demokrasi agar benar-benar berpihak pada rakyat.

Fenomena oligarki dalam demokrasi adalah ancaman nyata bagi substansi demokrasi itu sendiri. Ketika kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai oleh elite yang sama, maka demokrasi berubah menjadi “plutokrasi”—pemerintahan oleh orang-orang kaya. Indonesia dan banyak negara berkembang lain saat ini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kembali makna sejati demokrasi: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tanpa upaya serius untuk membatasi dominasi oligarki, demokrasi hanya akan menjadi ritual lima tahunan, sementara rakyat tetap menjadi penonton dalam panggung besar kekuasaan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses