Tangerang Selatan, STISNU News
Teks-teks ilmu nahwu tidak saja bisa diartikan sebagai buku teori gramatika Bahasa Arab. Muhammad Qustulani membedah makna imajinatif sufistik yang dikandung dalam kitab Syarh Ajurumiyyah karya Ibnu Ajibah.
“Nahwu itu sebuah perjalanan sufistik. Belajar nahwu itu belajar kajian ilmu sufi,” kata Dosen yang juga Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Tangerang itu menjelaskan temuannya usai sidang di auditorium Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (11/10).
Secara denotasinya, kitab Ajurumiyah karya As-Sonhaji memang menjelaskan sistem gramatika bahasa Arab. “Makna denotasi Ajurumiyah menekankan makna-makna gramatikal, tidak ada lain selain itu,” ujarnya.
Namun, jelasnya, Ajurumiyah juga bisa dimaknai dengan konstruksi makna berbeda. Sebagai orang yang berlatar belakang sufi, Ibnu Ajibah membacanya dengan perspektif sufistik.
“Ajurumiyah itu merupakan simbol atau wujud ekspresi perjalanan para sufi,” terangnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hasaniyah Rawalini itu menjelaskan, bahwa makna imajinatif dari mubtada adalah Allah. Sebab, ibtida tidak pernah terlihat. Sementara khabar adalah berita-berita ketuhanan, seperti alam semesta.
“Jadi, saya meyakini bahwa simbol-simbol nahwu merupakan ekspresi perjalanan pengetahuan. Jadi, bukan hanya sebatas ekspresi gramatikal,” tutur alumnus Pondok Buntet Pesantren itu.
Qustulani berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Makna Imajinatif Nahwu: Studi Kitab Ajurumiyyah Ibn Ajibah di hadapan para penguji. Ia mendapatkan nilai rata-rata disertasinya 95 dan rata-rata nilai seluruh kuliahnya 89,18. Ia berhak mendapatkan nilai cumlaude.
“Maka sidang penguji menetapkan bahwa promovendus dinyatakan lulus dengan predikat kumlaud,” kata Ketua Sidang sekaligus Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masykuri Abdillah. (Syakir/NU Online)