STISNU

Seminar Moderasi Beragama: Akademisi Enam Kampus Tolak Paham Intoleran

Akademisi enam kampus (STISNU Nusantara Tangerang, STISNU Aceh, STAI Al Hikmah Way Kanan Lampung, STAI Al Hikmah Tanjung Balai, IKTN Riau, dan STAI Mempawah Kalimantan) sepakat menolak paham intoleran berkembang di tengah masyarakat, apalagi paham anti-kebhinekaan itu sudah terdeteksi masuk ke dalam sejumlah perguruan tinggi.

Kesimpulan itu diperoleh dalam Seminar Nasional dengan tema “Moderasi Beragama: Menangkal Infiltrasi Paham Intoleran ke dalam Kampus,” Kamis (28/12/23). Semua narasumber dari masing-masing kampus di atas tegas tidak memberikan ruang kepada paham-paham anti-kebhinekaan dan keragaman.

Mengawali seminar, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Dr. H. Muhammad Qustulani, MA menjelaskan tentang pentingnya sikap moderasi dalam beragama. Apalagi menurutnya Indonesia terdiri dari ragam agama, suku, bangsa, bahasa, adat, dan budaya. Keragaman itu, di satu sisi bisa menjadi rahmat sekaligus bencana bila tidak disikapi dengan keluasan menerima segala perbedaan yang ada.

“Indonesia adalah negara majemuk dengan segala perbedaan yang ada. Fakta empiris ini harus dirawat dengan baik agar tidak terjadi gesekan secara horizontal. Karena itu perlu ditanamkan paham moderat dalam beragama dan sikap menerima keragaman kepada seluruh eleman bangsa,” kata Dr. Qustulani saat membuka acara seminar.

Pria yang biasa disapa Gus Fani atau Haji Fani ini berharap kegiatan seminar bisa terus dilaksanakan, bahkan tidak cukup pada skala nasional. Dia membayangkan suatu saat nanti STISNU Nusantara Tangerang bersama kelima kampus lain bisa berkolaborasi menggelar seminar internasional. “Kegiatan ini (seminar nasional) bisa diperluas dengan menggelar seminar internasional,” katanya penuh harap.

Sampai saat ini tema moderasi beragama tetap menjadi topik menarik yang dibicarakan di banyak lembaga pendidikan, pemerintahan, keagamaan, dan perguruan tinggi. Selama paham intoleran dan radikal, tetap ada, maka diskursus mengenai moderasi beragama akan menjadi tema yang aktual.

Hanya saja, menurut Ecep Fariduddin, MA, sikap moderasi dalam beragama selalu mendapat tantangan dan hambatan. Dengan membawa tema “Agama dan Tantangan Kebangsaan” sebagaimana tertulis dalam ringkasan PPTnya, Ecep mengungkapkan tiga persoalan yang mungkin terjadi terkait relasi agama dan kebangsaan. Pertama adalah disfungsi agama. Di mana agama tidak lagi berfungsi sebagai ajaran moral yang membimbing manusia ke jalan damai.

Kedua, konflik atas nama agama. Pluralitas agama sebagai fakta emperik menyimpan potensi konflik antar umat beragama. Di negeri ini bahkah di beberapa negara dunia, konflik atas nama agama kerap terjadi. Dan yang ketiga adalah bahaya ideologi trans-nasional yang datang dari luar seperti HTI, FPI, PKS.

Narasumber kedua, Sumiyati, M.Pd.I cukup menyesalkan masuknya paham intoleran ke dalam kampus. Karena itu, menurutnya untuk membentengi kampus dan mahasiswa dari paham anti-kebhinekaan perlu disiapkan matakuliah dan kurikulum yang tepat, yang memuat ide-ide kritis dan paham mengenai kebhinekaan. Hanya dengan cara seperti itu, ujarnya, paham intoleran dan radikal bisa dibendung masuk perguruan tinggi.

Senada dengan narasumber pertama (Ecep Faridduin, MA), Musa Thahir, M.Pd membeberkan beberapa sebab yang bisa berpotensi melahirkan paham intoleran. Di antaranya adalah ekstrimisme agama. Di mana agama dijadikan alasan untuk membenci yang lain, yang berbeda agama dan keyakinan.

Kedua adalah supremasi ras. Solidaritas kesukuan dan rasa primordial yang berlebihan juga bisa menjadi pemecah persatuan dan kesatuan. Perbedaan suku, adat dan budaya mestinya, kata Musa Thahir, tidak jadi alasan untuk konflik. Dan ketiga adalah xenofobia, sikap ketidaksukaan atau ketakutan terhadap kehadiran orang lain yang berbeda.

Paham intoleran tidak cocok dengan kebhinekaan. Lalu pertanyaanya, apa ukuran paham intoleran itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Feri Riski Dinata, M.Pd memberi penjelasan. Menurutanya, tindakal seseorang itu bisa dikatakan intoleran bila memenuhi tiga hal ini: Pertama, bila melanggar nilai luhur agama dan kemanusiaan, kedua, bila melanggar kesepakatan bersama untuk maslahat, dan ketiga, bila melanggar hukum.

Sementara itu, Ahmad Suhendra, M.Ag lebih banyak menyampaikan hasil penelitiannya yang dia lakukan di masyarakat Kalipasir Tangerang. Di mana menurutnya model moderasi beragama masyarakat Kalipasir antara Islam dan Konhucu bisa menjadi percontohan. Kedua komunitas agama itu hidup berdampingan dan tak jarang saling berkolaborasi untuk membangun kehidupan sosial, keagamaan, dan kebangsaan.

Menyimpulan seluruh pembicaraan yang sudah disampaikan para narasumber, Dr. Muhammad Yasir, MA, mengingatkan tentang pentingnya sikap moderasi dalam beragama di tengah perbedaan agama yang ada. Hanya dengan begitu, katanya, perbedaan agama dan keyakinan tidak akan menjadi penyebab konflik dan permusuhan antara umat beragama yang ada.

Tema moderasi beragama yang diusung dalam seminar kali ini merupakan respon dari kenyataan yang terjadi di lapangan. Para akademisi dari keenam kampus mengkhawatirkan inflitrasi paham intoleran ke dalam kampus. Karena itu perlu ada langkah-langkah riil dan terukur agar paham tersebut tidak bersarang di dalam kampus. Apalagi kampus-kampus besar telah berhasil disusupi.

Sebuah riset yang dilakukan Setara Institute pada 31 Mei 2019 lalu mengungkapkan, telah terjadi perkembangan gerakan intoleran yang cukup mengkhawatirkan di sepuluh perguruan tinggi negeri ternama. Sepuluh kampus ternama itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada,Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, Universitas Mataram, UIN Syarif Hidayatullah, dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Kenyataan tersebut cukup mengganggu, sebab kampus yang seharusnya menularkan pemikiran kritis-analitis, inklusif, dan pluralitas, justru terpapar paham intoleran yang mencerminkan sikap ekskluvisme. Perguruan tinggi negeri yang semestinya menjadi etalase prinsip Bhineka Tunggal Ika, bukan justru melahirkan individu-individu yang anti Pancasila, UUD 1945, dan pluralisme.

Perlu diketahui, Seminar Nasional yang diselenggarakan STISNU Nusantara Tangerang ini merupakan realisasi kerjasama enam kampus seperti disebutkan di bagian atas. Seminar kolaboratif berskala nasional ini akan terus dilaksanakan dalam setiap bulannya. Masing-masing kampus akan mendapat giliran sebagai penyelenggara.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.